Instabilitas
harga kebutuhan
pokok selalu menjadi agenda rutin tahunan yang jauh dari tuntas, karena sampai saat ini
pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan
stabilisasi yang kredibel, terukur, dan
komprehensif.
Banyak pihak tak menduga, termasuk pemerintah dan Bank Indonesia (BI), inflasi tiga
bulan terakhir cukup
tinggi: 2,43 persen. Sedangkan inflasi
tahunan mencapai 5,9 persen,
melampaui target pemerintah (4,9 persen) dan BI
(5,5 persen). Inflasi tinggi membuat
pemerintah panik. Seperti orang
kebakaran jenggot, untuk menjinakkan inflasi, pemerintah
membuat kebijakan panik. Ini tercermin dari beleid
"pemutihan"
332 kontainer bawang
putih yang tertahan
di Pelabuhan Tanjung Perak.
Ratusan kontainer milik 11 importir
ini tak dilengkapi Rekomendasi Impor
Produk Hortikultura
seperti diatur Peraturan
Menteri
Pertanian
Nomor
60 Tahun 2012 dan Surat Persetujuan Impor dari Kementerian
Perdagangan. Menurut aturan, ratusan kontainer itu seharusnya disita, dimusnahkan, atau
direekspor.
Pemerintah gamang. Jika tak dilegalkan dan dilepas ke pasar, harga bawang
tetap tinggi. Inflasi
bisa
terpantik tinggi, seperti yang terjadi
pada
Februari-Maret 2013.
Februari lalu, 0,12 persen dari 0,75 persen inflasi disumbang
bawang. Sedangkan pada Maret 2013, 0,44 persen
dari 0,63 persen inflasi disumbang kenaikan harga bawang (merah dan putih). Secara umum, dalam dua bulan terakhir penyumbang terbesar inflasi adalah kelompok volatile food, seperti bawang
(merah dan putih),
cabai merah, serta daging. Terlalu yakin dengan kebijakan
pembatasan dan pelarangan impor hortikultura, pemerintah lupa, kita belum memiliki
instrumen stabilisasi pangan, dan tata
niaga/distribusi bersifat
konsentris dan oligopolis.
Untuk kesekian
kalinya
kita
melihat betapa pemerintah
masih
disibukkan agenda
rutin tahunan yang
menguras energi yang
tak perlu. Instabilitas harga kebutuhan
pokok selalu menjadi agenda rutin tahunan yang jauh dari tuntas, karena sampai saat ini pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan stabilisasi yang
kredibel, terukur, dan komprehensif.
Respons pemerintah selalu reaktif, ad hoc dan fragmentaris. Semua itu tak lebih sebagai
pemadam kebakaran. Tidak
terhitung energi, waktu,
dan
biaya yang terkuras
akibat rutinitas instabilitas harga kebutuhan pokok. Bangsa
ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar
untuk mengatasi hal-hal rutin
yang semestinya bisa diselesaikan.
Bagi rakyat, terutama
warga
miskin, instabilitas harga
kebutuhan
pokok akan mengekspos
mereka pada posisi amat rentan. Pendapatan rakyat akan tergerus inflasi. Warga miskin yang
60-75 persen pendapatannya untuk pangan dipaksa merealokasikan keranjang belanja dengan
menekan pos non-pangan guna mengamankan perut. Mereka harus mengatur ulang
keranjang
pengeluaran. Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan
ke pangan.
Kedua, jumlah dan
frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior menjadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang
dewasa, ini berpengaruh pada
produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita, akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok, dan SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang
kian ketat. Inikah generasi yang akan kita ciptakan di masa mendatang?
Pada
1976, jumlah penduduk
miskin pedesaan mencapai 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari
total penduduk miskin.
Lebih dari 37 tahun kemudian, angka ini hanya mengalami sedikit perbaikan. Per September 2012, jumlah
penduduk
miskin mencapai
28,594 juta
(11,66
persen). Dari jumlah
itu,
63 persen berada di pedesaan. Data
ini menunjukkan, puluhan tahun pembangunan ekonomi ternyata kemiskinan
tidak beranjak jauh dari desa. Selain itu,
dengan
garis kemiskinan hanya Rp 259.520 per bulan atau Rp 8.650 per hari per orang, kita bisa
mempertanyakan
seperti
apa
kualitas hidup yang dijalani para warga miskin itu.
Inflasi yang tinggi dan pendapatan yang
rendah membuat warga miskin terpukul dua kali. Apalagi, menurut BPS, mayoritas
pengeluaran penduduk masih untuk pangan. Rata-rata pengeluaran penduduk
untuk pangan mencapai 49,89 persen pada 2012.
Bahkan, bagi penduduk miskin, 73,5 persen pengeluaran keluarga
untuk pangan. Sedikit saja ada lonjakan
harga, daya beli mereka anjlok drastis. Itulah sebabnya, banyak ekonom menyebut inflasi
sebagai "perampok uang rakyat". Kondisi
semacam ini bukan khas Indonesia. Hampir di negara-negara berkembang
pangsa pengeluaran pangan keluarga memang
masih dominan. Ketika harga kebutuhan
pokok naik, angka warga miskin pun melonjak.
Pengendalian inflasi menjadi kebutuhan mutlak. Bagi warga miskin, inflasi yang
terkendali
akan menjadi benteng pertahanan hidup. Bagi pemerintah, inflasi yang terjaga akan
mengamankan indikator ekonomi lainnya. Karena itu, pemerintah dan BI harus bekerja sama
menjinakkan inflasi. Langkah BI menekan inflasi dengan menstabilkan nilai tukar tidak akan
banyak artinya tanpa didukung upaya stabilisasi harga kebutuhan pokok. Tahun ini ancaman instabilitas harga kebutuhan pokok, terutama pangan, masih akan terjadi. Anomali iklim,
konversi lahan, dan petani yang miskin membuat produksi pangan serba tidak pasti. Itu
semua potensial menorpedo target inflasi pemerintah.
Stabilisasi kebutuhan
pokok tidak bisa ditunda-tunda. Ini tidak hanya sebagai bagian dari fungsi keberadaan negara, tapi juga menjadi amanat UU Nomor
18 Tahun 2012 tentang
Pangan. Dalam UU itu, stabilisasi pasokan dan harga
pangan, pengelolaan cadangan dan distribusi pangan pokok menjadi tugas
pemerintah. Untuk menstabilkan harga, bisa ditempuh lewat tiga langkah. Pertama, menentukan
komoditas pangan pokok. Bisa
dipakai tiga kriteria: besar-kecilnya peran
komoditas
itu bagi perekonomian, sumbangan pada inflasi,
dan seberapa besar menyedot belanja rumah tangga. Berapa jumlahnya, pemerintah yang
menentukan. Apakah bawang, kedelai, dan daging masuk di dalamnya? Komoditas inilah yang jadi opsi
stabilisasi. Kedua, instrumen harus komplet, dari harga patokan (ceiling/floor price),
cadangan, dana
murah, pengendalian ekspor-impor, hingga program jaminan
sosial dalam
bentuk pangan bersubsidi.
Ketiga, harus ada jaminan sistem distribusi
lancar, dan tak ada pelaku
dominan yang bisa mengeksploitasi
pasar.
Khudori
Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat (2010-2014)
KORAN TEMPO, 16 April 2013