Wednesday, November 02, 2016

Pangan, Inflasi, dan Kemiskinan

   No comments     
categories: 
Instabilitas harga kebutuhan pokok selalu menjadi agenda rutin tahunan yang jauh dari tuntas, karena sampai saat ini pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan stabilisasi yang kredibel, terukur, dan komprehensif.

Banyak pihak tak menduga, termasuk pemerintah dan Bank Indonesia (BI), inflasi tiga bulan terakhir  cukup  tinggi:  2,43  persen.  Sedangkan  inflasi  tahunan  mencapai  5,9  persen, melampaui target pemerintah (4,9 persen) dan BI (5,5 persen). Inflasi tinggi membuat pemerintah panik. Seperti orang kebakaran jenggot, untuk menjinakkan inflasi, pemerintah membuat kebijakan panik. Ini tercermin dari beleid  "pemutihan" 332 kontainer bawang putih yang tertahan  di  Pelabuhan  Tanjung Perak.  Ratusan kontainer milik  11  importir ini  tak dilengkapi  Rekomendasi  Impor  Produk  Hortikultura  seperti  diatur  Peraturan  Menteri Pertanian   Nomor   60   Tahun   2012   da Sura Persetujua Impor   dari   Kementerian Perdagangan. Menurut aturan, ratusan kontainer itu seharusnya disita, dimusnahkan, atau direekspor.

Pemerintah gamang. Jika tak dilegalkan dan dilepas ke pasar, harga bawang tetap tinggi. Inflasi bisa terpantik tinggi, seperti yang terjadi pada Februari-Maret 2013. Februari lalu, 0,12 persen dari 0,75 persen inflasi disumbang bawang. Sedangkan pada Maret 2013, 0,44 persen dari 0,63 persen inflasi disumbang kenaikan harga bawang (merah dan putih). Secara umum, dalam dua bulan terakhir penyumbang terbesar inflasi adalah kelompok volatile food, seperti bawang (merah dan putih), cabai merah, serta daging. Terlalu yakin dengan kebijakan pembatasan dan pelarangan impor hortikultura, pemerintah lupa, kita belum memiliki instrumen stabilisasi pangan, dan tata niaga/distribusi bersifat konsentris dan oligopolis.

Untuk  kesekian  kalinya  kita  melihat  betapa  pemerintah  masih  disibukkan  agenda  rutin tahunan yang menguras energi yang tak perlu. Instabilitas harga kebutuhan pokok selalu menjadi agenda rutin tahunan yang jauh dari tuntas, karena sampai saat ini pemerintah belum juga menyusun instrumen dan kelembagaan stabilisasi yang kredibel, terukur, dan komprehensif. Respons pemerintah selalu reaktif, ad hoc dan fragmentaris. Semua itu tak lebih sebagai pemadam kebakaran. Tidak terhitung energi, waktu, dan biaya yang terkuras akibat rutinitas instabilitas harga kebutuhan pokok. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang semestinya bisa diselesaikan.

Bagi rakyat, terutama warga miskin, instabilitas harga kebutuhan pokok akan mengekspos mereka pada posisi amat rentan. Pendapatan rakyat akan tergerus inflasi. Warga miskin yang
60-75 persen pendapatannya untuk pangan dipaksa merealokasikan keranjang belanja dengan menekan pos non-pangan guna mengamankan perut. Mereka harus mengatur ulang keranjang pengeluaran. Pertama, dana pendidikan dan kesehatan dipangkas, lalu dialihkan ke pangan. Kedua, jumlah dan frekuensi makan dikurangi. Jenis pangan inferior menjadi pilihan. Dampaknya, konsumsi energi dan protein menurun. Bagi orang dewasa, ini berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Buat ibu hamil/menyusui dan anak balita, akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak. Terbayang akan lahir generasi IQ jongkok, dan SDM yang tak bisa bersaing dalam kompetisi yang kian ketat. Inikah generasi yang akan kita ciptakan di masa mendatang?

Pada 1976, jumlah penduduk miskin pedesaan mencapai 44,2 juta orang atau 81,5 persen dari total penduduk miskin. Lebih dari 37 tahun kemudian, angka ini hanya mengalami sedikit perbaikan.  Per  September  2012,  jumlah  penduduk  miskin  mencapai  28,594  juta  (11,66


persen). Dari jumlah itu, 63 persen berada di pedesaan. Data ini menunjukkan, puluhan tahun pembangunan ekonomi ternyata kemiskinan tidak beranjak jauh dari desa. Selain itu, dengan garis kemiskinan hanya Rp 259.520 per bulan atau Rp 8.650 per hari per orang, kita bisa mempertanyakan seperti apa kualitas hidup yang dijalani para warga miskin itu.

Inflasi yang tinggi dan pendapatan yang rendah membuat warga miskin terpukul dua kali. Apalagi, menurut BPS, mayoritas pengeluaran penduduk masih untuk pangan. Rata-rata pengeluaran penduduk untuk pangan mencapai 49,89 persen pada 2012. Bahkan, bagi penduduk miskin, 73,5 persen pengeluaran keluarga untuk pangan. Sedikit saja ada lonjakan harga, daya beli mereka anjlok drastis. Itulah sebabnya, banyak ekonom menyebut inflasi sebagai "perampok uang rakyat". Kondisi semacam ini bukan khas Indonesia. Hampir di negara-negara berkembang pangsa pengeluaran pangan keluarga memang masih dominan. Ketika harga kebutuhan pokok naik, angka warga miskin pun melonjak.

Pengendalian inflasi menjadi kebutuhan mutlak. Bagi warga miskin, inflasi yang terkendali akan menjadi benteng pertahanan hidup. Bagi pemerintah, inflasi yang terjaga akan mengamankan indikator ekonomi lainnya. Karena itu, pemerintah dan BI harus bekerja sama menjinakkan inflasi. Langkah BI menekan inflasi dengan menstabilkan nilai tukar tidak akan banyak artinya tanpa didukung upaya stabilisasi harga kebutuhan pokok. Tahun ini ancaman instabilitas harga kebutuhan pokok, terutama pangan, masih akan terjadi. Anomali iklim, konversi lahan, dan petani yang miskin membuat produksi pangan serba tidak pasti. Itu semua potensial menorpedo target inflasi pemerintah.

Stabilisasi kebutuhan pokok tidak bisa ditunda-tunda. Ini tidak hanya sebagai bagian dari fungsi keberadaan negara, tapi juga menjadi amanat UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Dalam UU itu, stabilisasi pasokan dan harga pangan, pengelolaan cadangan dan distribusi pangan pokok menjadi tugas pemerintah. Untuk menstabilkan harga, bisa ditempuh lewat tiga langkah. Pertama, menentukan komoditas pangan pokok. Bisa dipakai tiga kriteria: besar-kecilnya peran komoditas itu bagi perekonomian, sumbangan pada inflasi, dan seberapa besar menyedot belanja rumah tangga. Berapa jumlahnya, pemerintah yang menentukan. Apakah bawang, kedelai, dan daging masuk di dalamnya? Komoditas inilah yang jadi opsi stabilisasi. Kedua, instrumen harus komplet, dari harga patokan (ceiling/floor price), cadangan, dana murah, pengendalian ekspor-impor, hingga program jaminan sosial dalam bentuk pangan bersubsidi. Ketiga, harus ada jaminan sistem distribusi lancar, dan tak ada pelaku dominan yang bisa mengeksploitasi pasar.

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)



KORAN TEMPO, 16 April 2013

Pangan, Inflasi, dan Kemiskinan

   No comments     
categories: 
KEGADUHAN kasus hukum yang membelit sejumlah elite politik di Tanah Air menenggelamkan berbagai berita penting lain, termasuk tentang inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada Januari lalu 1,03%, memecahkan rekor inflasi pada bulan yang sama dalam 4 tahun terakhir. Awal Maret lalu BPS kembali mengumumkan bahwa angka inflasi Februari 0,75% tercatat sebagai inflasi tertinggi pada bulan yang sama selama
10 tahun terakhir.

Kenyataan itu selain mengejutkan kita, juga menjadi peringatan dini bagi pemerintah guna menyikapi kondisi lebih lanjut. Berdasarkan pengalaman, inflasi pada Februari kurang dari
0,5% dengan penjelasan bahwa permintaan masyarakat sudah mulai turun setelah melambung pada pengujung tahun sebelumnya dan awal tahun baru. Selama satu dekade terakhir, inflasi tertinggi pada Februari terjadi pada 2008, yang mencapai 0,65%.

Secara umum inflasi Februari 2013 dipicu oleh kelompok volatile food, seperti bawang putih (0,12%), bawang merah (0,07%), cabai merah (0,04%), dan daging sapi (0,01%). Kondisi seperti ini dipicu oleh kemeroketan harga beberapa komoditas hortikultura beberapa bulan terakhir ini. Kenaikan harga bawang putih 31,38%, cabai merah 12,5%, dan bawang merah
11,3%.

Kelompok   volatil food   sebaga penyumbang   inflasi   terbesa dibanding   kelompok pengeluaran lain, mengindikasikan bahwa pangan masih merupakan pengeluaran terbesar sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Henri Josserand dari Global Information and Early Warning System Badan Pangan dan Pertanian Dunia PBB menyatakan inflasi yang diakibatkan kemelambungan harga pangan merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin. Hal ini mengingat pengeluaran untuk belanja pangan tidak kurang dari 60% dari total pengeluaran mereka.

Pemerintah harus menyikapi kenyataan ini secara bijak, jangan reaktif dengan membuka seluas-luasnya keran impor. Banyak pihak menilai kondisi pasar seperti sekarang merujuk pada praktik kartel sebagai pukulan balik terhadap kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, guna melindungi petani dan peternak domestik, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan regulasi impor komoditas hortikultura dan daging sapi.

Momentum Kebangkitan

Selain mengurangi kuota impor daging sapi, mulai Januari 2013 pemerintah mengeluarkan larangan sementara impor 13 jenis komoditas hortikultura. Kemelut harga daging sapi yang hingga kini terus berlangsung merupakan satu contoh ulah para kartelis. Menurut hitung- hitungan di atas kertas, ketersediaan daging sapi dari dalam negeri ditambah impor, sangat mencukupi kebutuhan masyarakat. Namun harga daging sapi tetap tak terkendali sampai hari ini.

Kondisi seperti ini tak sepenuhnya disebabkan oleh buruknya manajemen stok daging sapi tetapi juga merujuk pada praktik kartel. Boleh jadi kondisi ini sengaja diciptakan para kartelis untuk memukul balik kebijakan Kementerian Pertanian mengurangi kuota impor daging sapi. Pengurangan  kuota  impor  nyata-nyata  memangkas  pendapatan  mereka.  Para  kartelis  tak peduli jeritan rakyat, yang penting dapat mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan.


Kondisi   saa ini   harus   dijadikan   momentu oleh   semua   pemangku   kepentingan pembangunan pangan untuk memperbaiki struktur produksi dan struktur pasar dalam negeri. Secara umum kegencaran impor pangan dan praktik kartel pangan telah merusak sistem pertanian nasional dan menyengsarakan kehidupan petani.

Kemerebakan impor dan penyelundupan bawang putih telah mengubur kisah sukses petani pada sentra produksi bawang putih, seperti Desa Tuwel Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal, yang akhir Februari 2013 dikunjungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jangankan mencari ribuan hektare tanaman bawang putih seperti era 1980-an, sekarang ini  mencari belasan hektare saja sangat sulit. Komunitas arisan haji’’ yang dulu sangat dibanggakan sebagai simbol kemakmuran petani bawang putih Desa Tuwel, kini tinggal kenangan.

Insentif harga yang cukup menarik saat ini diharapkan akan menjadi momentum kebangkitan bawang putih Desa Tuwel dan sentra-sentra produksi sayuran lainnya di Indonesia. Menurut ekonom Peter Timer, harga jual komoditas pertanian yang memadai akan menjadi insentif utama bagi petani untuk meningkatkan produksi. Bahkan, jika harga menjanjikan, petani sayuran tidak segan-segan untuk melakukan budi daya di luar musim kendati berisiko cukup besar.

Semua upaya itu tidak cukup, pemerintah juga dituntut segera membenahi data pangan nasional.  Selama  ini  akurasi  data  pangan  secara  umum  menjadi  titik  lemah  manajemen pangan nasional. Sebagai contoh, pemerintah harus segera membenahi akurasi data jumlah ternak sapi dan kerbau dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan elastisitas kebutuhan daging. Data populasi ternak dan data elastisitas kebutuhan daging yang tidak akurat diyakini menjadi pangkal gonjang-ganjing harga daging sapi yang berlangsung lebih dari setahun terakhir ini.

Toto Subandriyo
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tegal



SUARA MERDEKA, 15 Maret 2014