Wednesday, November 02, 2016

Pangan, Inflasi, dan Kemiskinan

   No comments     
categories: 
KEGADUHAN kasus hukum yang membelit sejumlah elite politik di Tanah Air menenggelamkan berbagai berita penting lain, termasuk tentang inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi pada Januari lalu 1,03%, memecahkan rekor inflasi pada bulan yang sama dalam 4 tahun terakhir. Awal Maret lalu BPS kembali mengumumkan bahwa angka inflasi Februari 0,75% tercatat sebagai inflasi tertinggi pada bulan yang sama selama
10 tahun terakhir.

Kenyataan itu selain mengejutkan kita, juga menjadi peringatan dini bagi pemerintah guna menyikapi kondisi lebih lanjut. Berdasarkan pengalaman, inflasi pada Februari kurang dari
0,5% dengan penjelasan bahwa permintaan masyarakat sudah mulai turun setelah melambung pada pengujung tahun sebelumnya dan awal tahun baru. Selama satu dekade terakhir, inflasi tertinggi pada Februari terjadi pada 2008, yang mencapai 0,65%.

Secara umum inflasi Februari 2013 dipicu oleh kelompok volatile food, seperti bawang putih (0,12%), bawang merah (0,07%), cabai merah (0,04%), dan daging sapi (0,01%). Kondisi seperti ini dipicu oleh kemeroketan harga beberapa komoditas hortikultura beberapa bulan terakhir ini. Kenaikan harga bawang putih 31,38%, cabai merah 12,5%, dan bawang merah
11,3%.

Kelompok   volatil food   sebaga penyumbang   inflasi   terbesa dibanding   kelompok pengeluaran lain, mengindikasikan bahwa pangan masih merupakan pengeluaran terbesar sebagian besar rumah tangga di Indonesia. Henri Josserand dari Global Information and Early Warning System Badan Pangan dan Pertanian Dunia PBB menyatakan inflasi yang diakibatkan kemelambungan harga pangan merupakan pukulan paling berat bagi warga miskin. Hal ini mengingat pengeluaran untuk belanja pangan tidak kurang dari 60% dari total pengeluaran mereka.

Pemerintah harus menyikapi kenyataan ini secara bijak, jangan reaktif dengan membuka seluas-luasnya keran impor. Banyak pihak menilai kondisi pasar seperti sekarang merujuk pada praktik kartel sebagai pukulan balik terhadap kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, guna melindungi petani dan peternak domestik, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan regulasi impor komoditas hortikultura dan daging sapi.

Momentum Kebangkitan

Selain mengurangi kuota impor daging sapi, mulai Januari 2013 pemerintah mengeluarkan larangan sementara impor 13 jenis komoditas hortikultura. Kemelut harga daging sapi yang hingga kini terus berlangsung merupakan satu contoh ulah para kartelis. Menurut hitung- hitungan di atas kertas, ketersediaan daging sapi dari dalam negeri ditambah impor, sangat mencukupi kebutuhan masyarakat. Namun harga daging sapi tetap tak terkendali sampai hari ini.

Kondisi seperti ini tak sepenuhnya disebabkan oleh buruknya manajemen stok daging sapi tetapi juga merujuk pada praktik kartel. Boleh jadi kondisi ini sengaja diciptakan para kartelis untuk memukul balik kebijakan Kementerian Pertanian mengurangi kuota impor daging sapi. Pengurangan  kuota  impor  nyata-nyata  memangkas  pendapatan  mereka.  Para  kartelis  tak peduli jeritan rakyat, yang penting dapat mengeruk sebanyak-banyaknya keuntungan.


Kondisi   saa ini   harus   dijadikan   momentu oleh   semua   pemangku   kepentingan pembangunan pangan untuk memperbaiki struktur produksi dan struktur pasar dalam negeri. Secara umum kegencaran impor pangan dan praktik kartel pangan telah merusak sistem pertanian nasional dan menyengsarakan kehidupan petani.

Kemerebakan impor dan penyelundupan bawang putih telah mengubur kisah sukses petani pada sentra produksi bawang putih, seperti Desa Tuwel Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal, yang akhir Februari 2013 dikunjungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jangankan mencari ribuan hektare tanaman bawang putih seperti era 1980-an, sekarang ini  mencari belasan hektare saja sangat sulit. Komunitas arisan haji’’ yang dulu sangat dibanggakan sebagai simbol kemakmuran petani bawang putih Desa Tuwel, kini tinggal kenangan.

Insentif harga yang cukup menarik saat ini diharapkan akan menjadi momentum kebangkitan bawang putih Desa Tuwel dan sentra-sentra produksi sayuran lainnya di Indonesia. Menurut ekonom Peter Timer, harga jual komoditas pertanian yang memadai akan menjadi insentif utama bagi petani untuk meningkatkan produksi. Bahkan, jika harga menjanjikan, petani sayuran tidak segan-segan untuk melakukan budi daya di luar musim kendati berisiko cukup besar.

Semua upaya itu tidak cukup, pemerintah juga dituntut segera membenahi data pangan nasional.  Selama  ini  akurasi  data  pangan  secara  umum  menjadi  titik  lemah  manajemen pangan nasional. Sebagai contoh, pemerintah harus segera membenahi akurasi data jumlah ternak sapi dan kerbau dikaitkan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, dan elastisitas kebutuhan daging. Data populasi ternak dan data elastisitas kebutuhan daging yang tidak akurat diyakini menjadi pangkal gonjang-ganjing harga daging sapi yang berlangsung lebih dari setahun terakhir ini.

Toto Subandriyo
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tegal



SUARA MERDEKA, 15 Maret 2014

0 komentar:

Post a Comment