Wednesday, October 12, 2016

Sejarah Curug Cigentis Karawang

   No comments     
categories: 
Curug Cigentis Terletak di Desa Mekar Buana, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Berjarak 44 km dari pusat kota Karawang dan dapat dilalui dengan kendaraan roda empat atau roda dua dengan kondisi jalan cor beton dan beraspal.
Rute menuju lokasi Curug cigentis untuk kendaraan roda empat maupun roda dua adalah keluar/dari  tol Karawang Barat, belok kiri ke arah Badami, kemudian menyusuri jalan Badami – Loji sepanjang kurang lebih 40 km sampai ketemu pasar Loji. Dari pasar Loji belok kanan sampai ketemu Kampung Wisata (sekarang Kampung Turis-pen), terus naik sampai menemukan tempat parkiran atau penitipan kendaraan  karena lokasi jalan menanjak yang cukup curam tidak memungkinkan kendaraan untuk sampai ke atas sehingga harus dilanjutkan dengan berjalan kaki.
Curug Cigentis berada di ketinggian kurang lebih 1000 m di atas permukaan laut (dpl) dan memiliki ketinggian sekitar 25 meter dengan debit air yang dipengaruhi curah hujan turun di atas kawasan tersebut, bila musim kemarau panjang maka airnya seperti air pancuran.
Curug Cigentis ini adalah salah satu dari ke-7 tingkatan curug yang ada di Gunung Loji, dibawah kaki Gunung Sanggabuana yang termasuk wilayah pengelolaan hutan RPH Cigunungsari BKPH Purwakarta.  Adapun ke tujuh curug tersebut konon memiliki nilai sejarah berkumpulnya para wali pada jaman dahulu kala, namun yang boleh di kunjungi hanyalah satu curug, yaitu Curug Cigentis.  Ke enam curug lainnya tidak diperkenankan di singgahi karena beberapa alasan kuat diantaranya faktor alam yang masih terlalu rimba dan hanya orang-orang tertentu / orang yg berhati bersih dengan niat ibadah dan kuat bertahan dalam alam yang bisa mencapai curug yang paling atas.

Beberapa curug lain dapat di temui di sekitar lokasi ini, yaitu :

Curug Cipanundaan 
Curug Cipanundaan berada di kaki Gunung Sanggabuan dengan 3 (tiga) buah Curug jadi satu dalam satu areal seperti tangga.  Masing-masing tingkatan ini memiliki kolam penampungan. Akses jalan ke curug ini masih perawan dengan jalan setapak berliku-liku, naik turun dan melewati sungai yang berbatu besar.  Air terjun ini baru ditemukan oleh masyarakat setempat dan Team Expedisi Wisata Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang.  Wisata ke Curug Panundaan sangat berat dan menantang, namun panorama indah dan masih asli serta belum terjamah oleh tangan - tangan jahil, memberikan kesan yang tak akan terlupakan.  Lokasi : Desa Kutamaneuh, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang dengan jarak sekitar 42 km dari pusat kota Karawang.


Curug Bandung
Curug Bandung merupakan salah satu rangkaian 7 (tujuh) air terjun dalam satu aliran sungai.  Dimulai dari Curug Peuteuy, Curug Picung dan yang terbesar adalah Curug Bandung.  Curug ini juga berada dibawah kaki Gunung Sanggabuana, perjalanan menuju curug ini cukup berat yaitu dengan berjalan kaki sejauh 3 km.   Lokasi : Desa Mekarbuana, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang dengan jarak sekitar 42 km dari pusat kota Karawang.

Curug Cikarapyak
Curug Cikarapyak berada diatas Curug Cipanundaan. Perjalanan menuju curug ini sangat berat karena harus melalui jalan setapak menelusuri sungai berbatu, melipir tebing naik turun, menerabas semak belukar dan hutan belukar.  Lokasi : Desa Kutamaneuh, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang dengan jarak sekitar 42 km dari pusat kota Karawang.

Curug Cikoleangkak
Curug Cikoleangkak adalah air terjun terakhir, curug ini berada diatas Curug Cikarapyak dan Curug Cipanundaan.   Untuk mencapai air terjun ini perlu stamina fit dan keberanian untuk merambah hutan rimba.  Hal ini karena perjalanan menuju curug ini akan melintasi hutan rimba yang belum banyak dijamah oleh manusia.   Untuk menuju kesana harus melalui tebing padas, batu yang terjal dan jurang yang dalam, serta menerabas semak belukar.  Lokasi : Desa Kutamaneuh, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang dengan jarak sekitar 42 km dari pusat kota Karawang.

Legenda Curug Cigentis
Curug dalam basa (bahasa) Sunda berati Air Terjun. Sedangkan nama Cigentis (menurut legenda) adalah nama putri keraton yang pertama kali mandi di kolam yang terbentuk dari air terjun tersebut. Nama lengkapnya adalah Nu Geulis Nyi Geuntis. Konon dia adalah anggota pasukan khusus kerajaan Padjadjaran yang di utus oleh raja untuk mengawal atau lebih tepatnya ‘menguntit dan mengawasi’ aktivitas dakwah yang dilakukan oleh para wali di wilayah Padjadjaran, tapi kemudian malah menjadi orang pertama yang berikrar memeluk Islam di antara anggota kesatuannya.
Ceritanya, beberapa ratus tahun silam pasinggahan (sekarang Curug Cigentis) adalah hutan belantara yang kering dan kekurangan air, wilayah ini merupakan salah satu daerah kekuasaan Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Sukma Rasa.
Bila dicermati dengan baik rasanya terlalu janggal bila hutan belantara dalam kondisi kering dan kekurangan air. Bagaimana mungkin tanaman akan tumbuh apalagi sampai menjadi hutan belantara bila kekurangan air. Legenda itu memberikan berita bahwa hutan di Gnung Sanggabuana sudah ada sejak beberapa ratus tahun silam. Walaupun mungkin belum ada aliran sungai yang kini membentuk Curug Cigentis.
Lalu siapakah itu “Prabu Siliwangi yang bernama Prabu Sukma Rasa”?. Ahli sejarah memang berbeda pendapat soal ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa Prabu Siliwangi itu hanya satu yakni Sri Baduga Maharaja. Sementara pendapat kedua mengatakan bahwa Prabu Siliwangi itu ada banyak karena itu adalah gelar bukan nama seseorang dan bukan hanya Sri Baduga Maharaja yang bergelar Siliwangi. Hanya saja, dari berbagai literasi sejarah yang ada tidak ditemukan nama Prabu Sukma Rasa diantara jejeran nama Raja Padjadjaran. Mungkin yang dimaksud adalah Raden Pamanah Rasa (karena ada kata “Rasa”) yang merupakan nama lain dari Sri Baduga Maharaja.
Pada masa penyebaran Islam di Pulau Jawa yang dilakukan oleh Wali Songo (Sembilan Wali), Curug Cigentis merupakan salah satu tempat yang disinggahi, daerah tersebut sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu. Walaupun sebelumnya telah meminta ijin tetapi Prabu Siliwangi mempunyai kecurigaan kepada para Wali tersebut, dikhawatirkan akan merebut kekuasaan, untuk mengawasi gerak gerik Wali tersebut, Prabu SIliwangi tetap mengizinkan tetapi menyertakan pengawal yang sebenarnya telah di bai’at (doktrin) setia dengan alasan sebagai pengawal para Wali.”
Dalam legenda Curug Cigentis, hanya ada enam dari sembilan orang Wali yang dikisahkan legenda itu. Diketahui bahwa, agama masyarakat Sunda sesungguhnya adalah Agama Sunda Wiwitan bukan agama Hindu. Tapi bisa jadi di daerah Cigentis dimasa itu penduduknya beragama Hindu, jadi wajar bila kemudian para pengawal wali itu tak terlalu keberatan para wali berdakwah di sana, karena agama yang dianut warga Cigentis bukan agama mayoritas. Bila itu benar maka semestinya di sekitar Cigentis terdapat peninggalan era Hindu berupa candi atau lainnya. Yang ada saat ini disekitar Cigentis justru situs batu Tumpang tak jauh dari Curug Peteui yang lebih mirip sebagai peninggalan masa animis ataupun megalitikum.
Curug Cigentis pada masa itu merupakan daerah yang kering tidak ada air sama sekali, guna keperluan hidup dan beribadah para Wali berdo’a bermunajat memohon dengan penuh kepasrahan, ‘khusu’ serta penuh kesabaran, atas kekuasaan Allah Swt dari sebuah batu yang besar keluarlah air, membentuk sebuah air terjun (Curug). Orang orang yang berada di lokasi tersebut serentak merasa kaget, sekaligus kagum dan suka cita, tidak terkecuali para prajurit Prabu Siliwangi yang ditugaskan mengawal para Wali tersebut. Salah satu pengawal yang bernama “Nu Geulis Nyi Geuntis” secara spontan ‘berikrar’ masuk agama Islam. Karena beberapa hari tidak mandi dan kekurangan air, Nyi Geuntis sari sambil mengucapkan kalimat mengagungkan Tuhan (Allahu akbar 3x) langsung terjun dan mandi di Curug tersebut. Melihat hal itu, maka para Wali menamakan curug tersebut dengan “Curug Cigentis”
Sebenarnya para Wali, para pengawalnya dan orang orang yang mengikuti mereka itu, berkumpul dibagian mana sih?.  Di tempat yang kini jadi air terjunnya, atau di dekat batu besar yang mengeluarkan air?. Bila mereka berkumpul di dekat batu besar yang mengeluarkan air berarti lokasinya berada di bagian atas dari Curug Cigentis saat ini, berarti “Nu Geulis Nyi Geuntis” itu adalah pengawal sakti yang mampu terjun dari bagian atas curug setinggi lebih dari 20 meter untuk mandi di Curug tersebut.
Bila memang air yang mengalir di Curug Cigentis berasal dari sebuah batu besar semestinya hingga hari ini pun batu besar yang mengeluarkan air tersebut masih dapat kita temui disana, faktanya Curug Cigentis berasal dari air aliran sungai kecil yang terbentuk dari begitu banyak mata air di Gunung Sangga Buana, yang melewati tebing curam hingga membentuk air terjun. Atau jangan jangan batu besar yang dimaksud adalah gunung sanggabuana itu sendiri. Wallahua’alam bishowab.
Melihat apa yang dilakukan Nyi Geuntis Sari pengawal yang lain pun ikut masuk Islam yang dipimpin salah seorang Wali yang dikawal Nyi Geuntis dan pengawal lainnya, dan mereka yang masuk Islam antara lain adalah Putri Komalasari, Putri Melati, Putri Cempaka, Putri Sri Dayang Sari, Putri Sri Kunti, Putri Kaling Buana, Ibu Harum Sari, Ibu Harum Melati, Putri Malaka Mekah, Putri Malaka Hujan, Putri Rangga Huni, Resi Taji Malaka, Ganda Malaka, Guntur Roma, Rd. Jaka Tunda dan masyarakat lainnya.
Bila mengamati nama para pengawal wali itu sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan Sembilan diantaranya bergelar Putri.
Disekitar lokasi Curug Cigentis, terdapat sebuah bukit yang sering dipakai pertemuan oleh para wali sehingga lokasi tersebut sampai saat ini dikenal dengan puncak Sanggabuana. Sangga = sembilan menandakan Sembilan wali dan ‘Buana” sama dengan tempat di mana lokasi tersebut sering dipakai berkumpul dalam penyebaran agama ke daerah Cirebon, Demak, Kudus, Banten, Garut, Pemijahan Tasikmalaya, dan lain lain. Konon yang membagi bagikan tugas tersebut adalah Syekh Muhidin Abdul Kodir Zaelani.
Sepertinya terlalu dipaksakan untuk menghubungkan puncak Sanggabuana dengan Walisongo. Sangga dan Sanga memiliki makna yang jelas berbeda. Sangga bermakna penopang, sedangkan Buana atau Buwana bermakna Dunia atau semesta. Fakta menunjukkan bahwa Gunung Sanggabuana di Karawang merupakan titik tertinggi di wilayah Karawang. Bisa jadi disebut dengan nama Sanggabuana (penopang dunia) karena faktor tersebut.
Lebih menarik lagi dalam legenda itu disebutkan nama Syekh Muhidin Abdul Kodir Zaelani yang membagi bagikan tugas kepada para Wali (Wali Songo). Mungkin yang dimaksud adalah Abdul Qodir Jailani (1077–1166 M). Hanya saja beliau tak sejaman dengan Wali Songo.
Terlepas dari paparan legenda yang menimbulkan banyak pertanyaan tersebut setidaknya yang bisa disimpulkan adalah bahwa Curug Cigentis itu legendanya adalah tempat mandinya putri keratin, sedangkan bagian lain dari legenda Curug Cingentis ini justru lebih menarik untuk di ditelusuru lebih jauh lagi atau didiskusikan ulang. 

Sumber : Dari Berbagai Literatur

0 komentar:

Post a Comment