Oleh : Warji Permana, SE *)
Dimuat di Harian Umum Radar Karawang Edisi Selasa 4 September 2018
Dimuat di Harian Umum Radar Karawang Edisi Selasa 4 September 2018
Belum
lama ini BPS merilis angka kemiskinan yang menyentuh level satu digit yaitu
sebesar 9,82 persen. Suatu pencapaian terbaik yang dilakukan pemerintah dalam
dua dekade terakhir. Namun jangan lupa dibalik euforia menurunnya angka
kemiskinan tersebut, BPS juga mencatat bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada
bulan yang bersangkutan mengalami penurunan. Dari 102,33 pada Pebruari 2018 menjadi 101,94 pada Maret 2018 atau turun sebesar 0,39 persen. Kita boleh berbangga dengan
penurunan angka kemiskinan tapi lain cerita ketika NTP yang mengalami
penurunan.
Nilai Tukar Petani (NTP) adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani (harga komoditas pertanian yang dihasilkan) terhadap indeks harga yang dibayar petani (yang meliputi barang dan jasa yang dikonsumsi rumah tangga petani dan harga untuk biaya produksi). Nilai NTP diatas 100 artinya indeks harga yang diterima lebih besar dari indeks harga yang dibayar petani. NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (terms of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani.
Penurunan
NTP Maret 2018 dikarenakan indeks harga yang diterima petani turun sebesar 0,24
persen, sedangkan indeks harga yang dibayar petani naik sebesar 0,15 persen. Pada
Maret 2018 terjadi inflasi perdesaan di Indonesia sebesar 0,12 persen
disebabkan oleh naiknya indeks di seluruh kelompok penyusun Indeks Konsumsi
Rumah Tangga (IKRT), kecuali Kelompok Bahan Makanan, dengan kenaikan terbesar
pada Kelompok Kesehatan.
Bila kita cermati, proporsi penduduk miskin di pedesaan lebih banyak ketimbang di perkotaan. Jumlah penduduk miskin di pedesaan mencapai 13,20 persen sedangkan di perkotaan sebesar 7,02 persen dari total penduduk Indonesia. Fenomena tersebut menunjukan bahwa selama ini kemiskinan tetap berpusat di pedesaan, dimana sebagian besar mata pencaharian penduduk di pedesaan adalah petani. Maka tak heran jika petani kita masih dalam kondisi hidup serba kekurangan. Namun di sisi lain, program-program yang digulirkan pemerintah terutama untuk masyarakat pedesaan harus diapresiasi karena mampu menurunkan angka kemiskinan lebih besar dari pada di perkotaan, yaitu sebesar 0,27 persen, sementara diperkotaan hanya turun sebesar 0,24 persen.
Ukuran
Kesejahteraan
Berbicara
kesejahteraan berarti berbicara sesuatu ukuran yang sifatnya multidimensi. NTP
adalah salah satu komponen untuk mengukur kesejahteraan petani. Meskipun tidak
sepenuhnya menggambarkan kesejahteraan petani namun setidaknya bisa menggambarkan kemampuan daya beli petani
terhadap pergerakan harga-harga yang terjadi di pedesaan.
Lalu
apa tolok ukur untuk mengukur kesejahteraan petani ? Jawabannya tentu
pendapatan. Semakin besar pendapatan tentu semakin tinggi pula tingkat
kesejahteraan. Sebaliknya semakin kecil pendapatan petani maka kesejahteraanpun
jangan harap bisa terealisasi. Besar kecilnya pendapatan sangat dipengaruhi
oleh besar kecilnya biaya produksi, harga jual komoditas, penguasaan lahan
pertanian serta besar kecilnya keuntungan setiap musim.
Hasil Survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017
yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) secara nasional menunjukkan bahwa dari setiap satu hektar sawah rata-rata dapat
menghasilkan Rp 18,5 juta per musim tanam. Sedangkan ongkos produksinya sebesar
Rp 13,6 juta. Artinya, rata-rata pendapatan yang diterima dari setiap satu
hektar sawah sebesar Rp 5 juta per musim tanam dengan asumsi ongkos produksi
tersebut sudah mencakup perkiraan biaya tenaga sendiri dan alat pertanian yang
dimiliki yang diperoleh tanpa harus membeli. Namun jika semua komponen biaya
ini dikeluarkan, keuntungan totalnya bisa lebih dari Rp 10 juta per hektare per
musim tanam atau 2,5 juta per bulan. Keuntungannya cukup lumayan apalagi jika
harga jual sedang tinggi. Namun sayang mayoritas petani kita adalah petani
gurem yaitu petani dengan penguasaan lahan sawah kurang dari setengah hektar.
Hasil perhitungan Institute
for Development of Economics and Finance
(INDEF) dengan berbekal data sensus pertanian 2013 menunjukan bahwa rasio Gini penguasaan lahan pertanian mencapai 0,64. Artinya sebagian besar lahan pertanian dikuasai oleh segelintir pemilik lahan bermodal besar terutama di Pulau Jawa. Akses penguasaan lahan sawah dari sisi harga sudah semakin tak terjangkau oleh petani-petani kecil. Kondisi ini menunjukan distribusi penguasaan lahan yang semakin timpang.
(INDEF) dengan berbekal data sensus pertanian 2013 menunjukan bahwa rasio Gini penguasaan lahan pertanian mencapai 0,64. Artinya sebagian besar lahan pertanian dikuasai oleh segelintir pemilik lahan bermodal besar terutama di Pulau Jawa. Akses penguasaan lahan sawah dari sisi harga sudah semakin tak terjangkau oleh petani-petani kecil. Kondisi ini menunjukan distribusi penguasaan lahan yang semakin timpang.
Berbeda jauh jika dibandingkan dengan kepemilikan
lahan yang dimiliki petani Thailand dan Filipina. Menurut INDEF rata-rata
kepemilikan lahan petani Thailand mencapai 3,2 hektar dan petani Filiphina
sebesar 2 hektar. Ketimpangan lahan ini berdampak pada rendahnya produktivitas
dan kesejahteraan petani kita karena belum memenuhi skala ekonomi. Tentunya menjadi PR bagi pemerintah dan bagi para pelaku
usaha sektor pertanian pada umumnya.
*) Penulis adalah Statistisi Ahli Muda, bekerja di Badan Pusat
Statistik Kabupaten Karawang.