Pembangunan manusia didefinisikan
sebagai proses perluasan
pilihan bagi penduduk (enlarging people choice). IPM merupakan indikator penting
untuk mengukur keberhasilan
dalam upaya membangun kualitas
hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya. IPM diperkenalkan oleh United Nations
Development Programme (UNDP) pada tahun 1990 dan metode penghitungan direvisi pada tahun 2010. BPS mengadopsi perubahan metodologi
penghitungan IPM yang baru pada tahun 2014 dan melakukan backcasting sejak tahun
2010.
IPM dibentuk oleh tiga
dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy
life), pengetahuan (knowledge), dan standard
hidup layak (decent standard of living).
Umur panjang dan hidup sehat digambarkan
oleh Umur Harapan Hidup saat lahir (UHH) yaitu jumlah tahun yang diharapkan dapat
dicapai oleh bayi yang baru lahir untuk hidup, dengan asumsi bahwa pola angka kematian
menurut umur pada saat kelahiran sama sepanjang usia bayi.
Pengetahuan
diukur melalui indikator
Rata-rata Lama Sekolah dan Harapan Lama
Sekolah. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) adalah rata-rata
lamanya (tahun) penduduk usia 25 tahun ke
atas
dalam menjalani pendidikan formal. Harapan Lama Sekolah (HLS) didefinisikan sebagai lamanya (tahun)
sekolah formal yang diharapkan
akan dirasakan oleh anak pada
umur tertentu di masa mendatang.
Standar hidup yang layak
digambarkan oleh pengeluaran per kapita disesuaikan, yang ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas daya beli (purchasing
power parity).
IPM dihitung berdasarkan
rata-rata
geometrik
indeks kesehatan, indeks
pengetahuan,
dan indeks pengeluaran. Penghitungan ketiga
indeks ini dilakukan dengan melakukan standardisasi
dengan nilai minimum dan maksimum masing-masing komponen indeks.IPM dihitung berdasarkan rata-rata geometrik indeks kesehatan, indeks pengetahuan,
dan indeks pengeluaran.
Penghitungan ketiga indeks ini dilakukan dengan melakukan standardisasi
dengan nilai minimum dan maksimum masing-masing komponen indeks.
IPM merupakan indikator yang
digunakan untuk melihat perkembangan
pembangunan dalam jangka panjang. Untuk melihat kemajuan pembangunan
manusia, terdapat dua
aspek yang perlu diperhatikan,
yaitu kecepatan dan status pencapaian.
Secara umum, pembangunan
manusia Kabupaten Cianjur terus mengalami kemajuan
selama periode 2016 hingga 2019. Meskipun
secara peringkat Kabupaten Cianjur berada pada peringkat terbawah dari 27 Kabupaten/Kota se-Jawa
Barat, tetapi IPM Kabupaten Cianjur terus mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Dalam kurun waktu setahun terakhir
terjadi peningkatan dari 64,62 pada tahun
2018 menjadi 65,38 pada tahun
2019 (selisih IPM 0,76) atau
tumbuh sebesar 1,18 persen. IPM Kabupaten Cianjur
saat ini berada pada status “sedang”.
Dari 27 Kabupaten/Kota
se-Jawa Barat, saat ini
3 berpredikat
IPM “Sangat
Tinggi”; 13 berstatus IPM “Tinggi”; 11 lainnya masih berstatus IPM “Sedang”.
2. Pencapaian Kapabilitas Dasar Manusia
Pencapaian pembangunan manusia diukur dengan memperhatikan
tiga aspek esensial yaitu umur
panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup layak.
Oleh karena itu, peningkatan capaian IPM tidak
terlepas dari peningkatan setiap komponennya. Seiring
dengan meningkatnya angka IPM,
indeks masing-masing komponen
IPM juga menunjukkan kenaikan dari tahun
ke tahun.
Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Kabupaten Cianjur 2016-2019
Komponen
|
2016
|
2017
|
2018
|
2019
|
Umur Harapan Hidup saat
Lahir (UHH)
|
69,39
|
69,49
|
69,70
|
69,91
|
Harapan Lama Sekolah
(HLS)
|
11,88
|
11,89
|
11,90
|
11,98
|
Rata-rata Lama Sekolah (RLS)
|
6,61
|
6,92
|
6,93
|
6,97
|
Pengeluaran per Kapita (000Rp.)
|
7.074
|
7.300
|
7.874
|
8.290
|
IPM
|
62,92
|
63,7
|
64,62
|
65,38
|
A. Dimensi Umur Panjang dan Hidup Sehat
Umur Harapan Hidup saat
lahir (UHH) yang merepresentasikan dimensi
umur panjang dan hidup sehat terus
meningkat dari tahun ke tahun.
Selama periode 2016 hingga 2019, Kabupaten
Cianjur telah berhasil meningkatkan Umur Harapan Hidup saat lahir
sebesar 0,21 persen. Pada tahun 2016, Umur Harapan Hidup saat lahir di Kabupaten Cianjur sebesar
69,39 tahun, dan pada tahun 2019 telah mencapai 69,91 tahun.
B. Dimensi Pengetahuan
Dimensi pengetahuan
pada IPM dibentuk oleh dua indikator, yaitu
Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS)
penduduk usia 25 tahun ke atas. Kedua indikator ini terus
meningkat dari tahun ke tahun. Selama periode 2016 hingga 2019, HLS Kabupaten Cianjur telah meningkat
rata-rata
per tahun sebesar 0,03 persen.
Meningkatnya HLS menjadi sinyal positif bahwa semakin lama penduduk mengenyam bangku
sekolah. Pada tahun 2019, HLS
di Kabupaten
Cianjur baru mencapai 11,98 tahun yang berarti
bahwa anak-anak usia 7 tahun memiliki
peluang untuk menamatkan pendidikan mereka hingga kelas 3 SMA. Masih
lebih rendah dibanding angka provinsi Jawa Barat yang sebesar 12,48 (peluang
menamatkan pendidikan sampai D1).
Sementara
itu, RLS penduduk usia 25
tahun ke atas
di Kabupaten
Cianjur tumbuh 0,04 persen selama periode 2018 hingga 2019. Pertumbuhan yang positif ini merupakan modal penting dalam membangun kualitas sumber daya manusia
Kabupaten
Cianjur yang lebih baik. Pada tahun 2019, secara rata-rata penduduk Kabupaten Cianjur usia 25 tahun ke atas telah
bersekolah selama 6,97
tahun, atau telah
menyelesaikan pendidikan hingga kelas 1 SMP. Lebih rendah dari angka provinsi Jawa Barat
yang sebesar 8,37 (menyelesaikan pendidikan hingga kelas 3
SMP)
C. Dimensi
Standar Hidup Layak
Dimensi terakhir yang mewakili kualitas hidup manusia adalah standar
hidup layak yang direpresentasikan oleh pengeluaran per kapita
(PPP) harga konstan 2012. Pada tahun 2019, pengeluaran per kapita masyarakat Kabupaten
Cianjur mencapai Rp. 10,79 juta per tahun.
3. Pencapaian Pembangunan
Manusia di Tingkat Kabupaten/Kota
Pada tahun 2019, pencapaian pembangunan manusia di tingkat Kabupaten/Kota cukup
bervariasi. IPM pada level kabupaten/kota berkisar antara 65,38 (Cianjur) hingga 81,62 (Kota Bandung). Pada dimensi
umur panjang dan hidup sehat, Umur Harapan Hidup saat lahir
berkisar antara
69,21 tahun (Tasikmalaya) hingga
74,89 tahun (Kota Bekasi). Sementara pada dimensi pengetahuan, Harapan Lama Sekolah
berkisar antara 11,69 tahun (Subang) hingga 14,19 tahun (Kota Bandung), serta Rata-rata Lama Sekolah berkisar antara 5,99 tahun (Indramayu) hingga 11,10 tahun (Kota Bekasi). Pengeluaran per kapita di tingkat kabupaten/kota berkisar antara 8,092 juta rupiah per tahun (Kabupaten Tasikmalaya) hingga 17,254 juta rupiah per tahun (Kota Bandung).
Kemajuan pembangunan manusia pada tahun 2019 juga terlihat dari perubahan status pembangunan manusia di tingkat kabupaten/kota. Jumlah kabupaten/kota yang berstatus “sedang” berkurang dari 15 pada tahun 2018
menjadi 11 kabupaten/kota pada tahun 2019.
Kabupaten/kota yang status pembangunan manusia
meningkat menjadi “tinggi” pada tahun 2019 yaitu Kabupaten
Bogor,
Kabupaten Ciamis, Kabupaten
Purwakarta
dan Kabupaten
Karawang.
Dengan demikian pada tahun 2019 Kabupaten Kota yang memiliki
status IPM “tinggi” ada 14
kabupaten/kota. Sementara itu terdapat tiga kota di Provinsi Jawa Barat yang mencapai status
pembangunan manusia “sangat
tinggi”, yaitu
Kota
Bandung, Kota Bekasi, dan Kota Depok.
Peningkatan IPM di tingkat provinsi juga tercermin pada level kabupaten/kota. Pada tahun 2019, seluruh kabupaten/kota mengalami peningkatan IPM jika dibandingkan dengan tahun 2018.
Pada periode ini, tercatat tiga
kabupaten/kota dengan kemajuan pembangunan manusia paling cepat, yaitu Karawang (1,39
persen), Bogor (1,38
persen) dan Sukabumi (1,24 persen). Kemajuan
pembangunan manusia di Kabupaten Karawang dan Sukabumi didorong oleh perbaikan dimensi Standar Hidup Layak,
sementara Bogor didorong oleh perbaikan dimensi Pendidikan.
Sementara itu kemajuan
capaian pembangunan manusia selama 2018 – 2019 di Kabupaten Subang (0,56 persen) tercatat
paling lambat, di susul Kabupaten Sumedang (0,66 persen) dan Kota Depok (0,66 persen). Untuk kasus Kota Depok yang wilayah geografisnya
relatif kecil,
kepadatan penduduk
yang besar, dengan peringkat capaian IPM yang sudah cukup tinggi yaitu di posisi
ketiga setelah Kota Bandung dan Kota Bekasi. Tentu untuk meningkatkan 0,01 persen saja sangat butuh sumber daya yang jauh lebih besar jika dibanding
daerah lain yang wilayahnya luas, dengan
komponen IPM yang masih relatif rendah.
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi
Jawa Barat