Friday, August 11, 2017

Prihatin Hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016

   No comments     
categories: 
      Survei Badan Pusat Statistik (BPS) dalam surveinya menyebut bahwa 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun pernah menjadi korban kekerasan. Miris sekali tentunya.
“1 dari 10 perempuan usia 15-64 tahun mengalaminya (kekerasan ini) dalam 12 bulan terakhir,”  demikian  BPS melansir data pada 30 Maret 2017.
Data tersebut merupakan hasil  Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 dengan melibatkan 9.000 responden dari seluruh Indonesia.
Dari lokasi, survei BPS menemukan, kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung lebih tinggi terjadi di perkotaan dibandingkan di pedesaan. Angkanya, 36,3 persen berbanding 29,8 persen. 


      Ironisnya korban kekerasan kebanyakan memiliki latar belakang pendidikan minimal SMA, dengan persentase 39,4 persen. Lalu, 35,1 persen perempuan yang mengalami kekerasan didapati tidak bekerja.
Dalam pernikahan, kasus kekerasan diakui terjadi oleh 2 dari 11 perempuan yang menjadi responden. Jenis kekerasannya cenderung berupa kekerasan fisik daripada seksual.
Bentuknya, mulai  dari tamparan, pukulan, dorongan, jambakan, tendangan, hingga benar-benar dihajar.
      Adapun kekerasan yang dilakukan oleh bukan pasangan, diakui pernah dialami oleh 1 dari 4 perempuan. 
“Kekerasan seksual merupakan (bentuk kekerasan) yang paling banyak dilakukan oleh (pelaku) selain pasangan (alias orang lain),” tulis hasil survei itu.
Masuk dalam definisi survei, pelaku selain pasangan mencakup antara lain orangtua,  mertua, tetangga, kakek, paman, sepupu, teman, guru, dan orang tak dikenal.
Wujud kekerasan seksual tersebut mulai dari komentar atau pesan, sentuhan atau rabaan, gambar mesum, hingga paksaan hubungan seksual.
Pengumpulan data survei mengadopsi kuosioner Women’s Helath and Life Experiences milik Badan Kesehatan Dunia (WHO). Survei ini merupakan kerja sama BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA).
Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers terkait hasil survei ini mengatakan bahwa survei ni merupakan survei pertama di Indonesia yang khusus menggali informasi kekerasan terhadap perempuan.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Vennetia Ryckerens Danes mengatakan, hasil survei ini akan menjadi bahan evaluasi dan dasar penyusunan program serta kebijakan Pemerintah terkait perlindungan perempuan.
”Selama ini data kekerasan yang dipakai hanya berdasarkan data terlaporkan, seperti gunung es, hanya terlihat puncaknya,” ujar Vennetia, seperti dikutip harian Kompas.
Tingginya angka kekerasan yang dilakukan oleh selain pasangan, juga menjadi perhatian tersendiri.
”Ini jadi peringatan. Kita harus angkat kekerasan perempuan jadi extra ordinary crime agar mendapat perhatian lebih,” kata Suhariyanto.
      Survei tersebut memotret pula bentuk lain dari kekerasan yang ditengarai sering terjadi di dalam rumah tangga atau hubungan. Wujudnya mulai dari larangan hingga pembatasan akses ekonomi.
Sebelumnya, Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2017 menyebutkan pula, selama 2016 terjadi 259.150 kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.
Sebanyak 245.548 kasus tercatat di 358 Pengadilan Agama di seluruh Indonesia dan 13.602 kasus lain ditangani oleh 233 lembaga mitra pengadaan layanan yang tersebar di 34 Provinsi.
"Kekerasan di ranah persoalan rumah tangga masih menempati posisi tertinggi. 245.548 kasus kekerasan terhadap istri yang berujung pada perceraian," kata Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan Indraswari, seperti dikutip Kompas.com, Selasa (7/3/2017).
Menurut Indraswari, lingkungan tempat kerja juga tidak lepas dari kekerasan. Komnas Perempuan menerima laporan dari 44 kasus kekerasan di tempat kerja.
"Di level (perekonomian) atas, (kejadian kekerasan terhadap perempuan) lebih terselubung karena ada relasi kuasa yang timpang di wilayah kerja,” imbuh Indraswari.
Negara, lanjut Indraswari, juga tak luput ikut berperan dalam melaksanakan kekerasan.
“Terutama saat terjadi penggusuran (seperti) yang terjadi di DKI Jakarta dengan 304 korban," kata Indraswari.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah menambahkan, penerbitan regulasi hukum yang melindungi kaum perempuan belum diimbangi dengan mekanisme pencegahan yang baik.
Menurut Yuniyanti, lemahnya penegakan hukum, kebijakan pemerintah yang diskriminatif dan impunitas bagi pelaku membuat kasus kekerasan terus berulang.
Pola kekerasan terhadap perempuan, kata Yuni, semakin rumit dan terjadi lebih cepat dari kemampuan negara untuk merespons.

Dikutip dari halaman Kompas.

***Warji Permana***


0 komentar:

Post a Comment