Semasa Pemerintahan
Orde Baru pembangunan ekonomi mampu menciptakan lapangan kerja baru yang secara
langsung mampu mengurangi angka pengangguran nasional. Sektor yang paling
banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor industri dan jasa.
Catatan positif di tahun 2016 selain pertumbuhan
ekonomi yang mampu kembali menembus angka 5%, setelah sempat terpuruk hingga
4,8% pada 2015, jumlah penduduk yang bekerja juga bertambah sebanyak 3,6 juta
orang (berdasarkan Data Sakernas, Badan Pusat Statistik)
Hal itu juga
dibarengi dengan penurunan tingkat pengangguran terbuka dari 6,18% (Agustus
2015) menjadi 5,61% (Agustus 2016). Peningkatan penyerapan tenaga kerja
tersebut adalah yang terbanyak sejak 2012 yang sempat mencapai 5,1 juta orang.
Pada tahun ini, ekonomi nasional berpotensi tumbuh hingga mencapai 5,2%.
Pertumbuhan makro ekonomi yang cukup kuat
selama lebih dari satu dekade ini secara berlahan telah mampu menurunkan angka
pengangguran di Indonesia. Namun, dengan kira-kira dua juta penduduk Indonesia
yang tiap tahunnya terjun ke dunia kerja, adalah tantangan yang sangat besar
buat pemerintah Indonesia untuk menstimulasi penciptaan lahan kerja baru supaya
pasar kerja dapat menyerap para pencari kerja yang tiap tahunnya terus
bertambah; pengangguran muda (kebanyakan adalah mereka yang baru lulus kuliah)
adalah salah satu kekhawatiran utama dan butuh adanya tindakan yang cepat.
Salah satu karakteristik Indonesia adalah bahwa
angka pengangguran cukup tinggi yang dihadapi oleh tenaga kerja muda usia 15
sampai 24 tahun, jauh lebih tinggi dari angka rata-rata pengangguran secara
nasional. Mahasiswa yang baru lulus dari universitas dan siswa sekolah kejuruan
dan menengah mengalami kesulitan menemukan pekerjaan di pasar kerja nasional.
Hampir setengah dari jumlah total tenaga kerja di Indonesia hanya memiliki
ijazah sekolah dasar saja. Semakin tinggi pendidikannya semakin rendah partisipasinya
dalam kekuatan tenaga kerja Indonesia. Meskipun demikian dalam beberapa tahun
terakhir terlihat adanya perubahan tren: pangsa pemegang ijazah pendidikan
tinggi semakin besar, dan pangsa pemegang ijazah pendidikan dasar semakin
berkurang.
Sejalan dengan
pemulihan ekonomi, idealnya penciptaan lapangan kerja tahun ini juga meningkat.
Namun demikian, kendati jumlah orang yang bekerja berpotensi bertambah,
Menurut Mohammad Faisal, Direktur
CORE Indonesia (Center of Reform on Economics), Secara sektoral, sejak lebih
dari lima tahun terakhir juga terjadi pergeseran yang menarik dalam penciptaan
lapangan kerja. Peran sector-sektor jasa dan perdagangan semakin besar dalam
menyerap tenaga kerja, jauh lebih besar dibandingkan dengan sektor-sektor
tradable khususnya pertanian dan industri manufaktur.
Pada 2016,
misalnya, dari 3,6 juta tambahan lapangan kerja yang tercipta, sektor jasa
kemasyarakatan menyumbang sebanyak 1,5 juta (42%), disusul sektor perdagangan
satu juta (28%). Sementara jumlah tenaga kerja di sektor industri manufaktur
dan pertanian masing-masing hanya bertambah 285.000 dan 22.000 orang.
Peluang penciptaan
lapangan kerja pada 2017 untuk kedua sektor ini masih relatif terbatas.
Pasalnya, belum ada perbaikan mendasar pada daya saing industri manufaktur yang
masih menghadapi permasalahan yang kompleks.
Persoalan itu mulai
dari tingginya biaya produksi, inkonsistensi dan ketidaksinkronan kebijakan,
hingga meningkatnya persaingan dengan produk-produk impor. Berbagai paket
kebijakan yang telah diluncurkan pemerintah hingga kini masih belum banyak
dirasakan dampaknya dalam mengurai benang kusut permasalahan yang membelit
sektor ini.
Meskipun investasi
yang masuk ke sektor manufaktur masih yang terbesar dibandingkan dengan
sektor-sektor lainnya, besarnya nilai investasi ternyata tidak diimbangi dengan
peningkatan penyerapan tenaga kerja. Aktivitas manufaktur masih terus bergeser
dari padat karya ke padat modal. Selain faktor perkembangan teknologi,
pergeseran ini juga dipicu oleh kompleksitas permasalahan pengupahan, dan masih
terbatasnya kompetensi dan produktivitas tenaga kerja di sektor ini.
Sementara itu,
nilai tukar petani yang masih cenderung melemah dari tahun ke tahun, ditambah
rendahnya apresiasi sosial terhadap profesi petani, akan terus mengurangi daya
tarik sektor pertanian khususnya bagi para kaum muda. Untungnya, manakala daya
saing sektor per tanian dan industri manufaktur cenderung melemah, perkembangan
teknologi digital justru menciptakan peluang lapangan kerja yang lebih luas di
sektor jasa, khususnya di daerah perkotaan.
Keluarga
petani terus berkurang karena sebagian besar generasi muda pedesaan tidak
tertarik mengembangkan pertanian. Usaha tani, selain tidak
"bergengsi", juga kerap tidak menguntungkan karena pasarnya tidak
pasti. Kondisi ini memprihatinkan karena pada gilirannya akan mengancam
ketersediaan pangan.
Dengan pasar domestik yang besar dan pesatnya pertum buh an penggunaan telepon seluler pintar, perusahaan rintisan (start up) berbasis Internet tumbuh subur dalam lima tahun terakhir. Keberadaan perusahaan rintisan ini telah membantu pertumbuhan usaha mikro, kecil dan menengah, serta menciptakan peluang kerja di sektor jasa transportasi (seperti Go-jek, Grab dan Uber).
Dengan pasar domestik yang besar dan pesatnya pertum buh an penggunaan telepon seluler pintar, perusahaan rintisan (start up) berbasis Internet tumbuh subur dalam lima tahun terakhir. Keberadaan perusahaan rintisan ini telah membantu pertumbuhan usaha mikro, kecil dan menengah, serta menciptakan peluang kerja di sektor jasa transportasi (seperti Go-jek, Grab dan Uber).
Peluang penciptaan
lapangan kerja di sektor perdagangan dan jasa kemasyarakatan yang dipicu oleh
perkembangan teknologi digital ini masih sangat terbuka lebar dan akan terus
meningkat dalam tahun-tahun mendatang. Sayangnya, berbeda dengan sektor jasa
secara umum yang banyak menyerap tenaga kerja, jasa konstruksi malah menjadi
anomali.
Sektor jasa
konstruksi bahkan menjadi satusatunya sektor yang mengalami penyusutan jumlah
tenaga kerja di tahun lalu. Hampir 230.000 tenaga kerja di sektor ini hilang
antara bulan Agustus 2015 hingga Agustus 2016.
Hal ini sangat ironis
mengingat proyek-proyek konstruksi justru sedang marak dijalankan sejalan dengan
diprioritaskannya pembangunan infrastruk tur oleh pemerintah. Tidak kurang dari
Rp317triliun anggaran pemerintah telah dikucurkan untuk infrastruktur selama
2016. Ini suatu bukti bahwa proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang
digalakkan telah gagal untuk menyediakan lapangan pekerja an secara langsung.
Investasi pemerintah
dalam pembangunan in frastruk tur ternyata juga tidak mampu merangsang pihak
swasta untuk ikut menanamkan modalnya di sektor ini. Realisasi investasi swasta
di sektor konstruksi baik penanaman modal asing maupun dalam negeri justru
mengalami penurunan dalam dua tahun terakhir.
Dapat disimpulkan
bahwa pertumbuhan lapangan kerja selama beberapa tahun terakhir sebenarnya
belum banyak didorong oleh faktor kebijakan pemerintah. Catatan yang kurang
baik ini perlu menjadi perhatian serius ke depan jika pemerintah ingin
menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan.
Berbagai instrumen
kebijakan pemerintah baik fiskal maupun nonfiskal harus bersinergi dalam
menciptakan iklim usaha dan investasi yang dapat mendorong penciptaan lapangan
pekerjaan di berbagai sektor.
Selain menyiapkan
sistem pendidikan dan pelatihan yang dapat menghasilkan tenaga kerja yang
produktif dan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja, dibutuhkan sistem insentif
maupun disinsentif untuk mendorong investasi agar dapat menyerap surplus tenaga
kerja di dalam negeri. Tren pertumbuhan teknologi digital semestinya juga dapat
dimanfaatkan tidak hanya untuk mendorong sektor ekonomi di perkotaan, tetapi
juga sektor pertanian. Misalnya, dalam pemasaran produk- produk hasil tani dan
memotong rantai distribusi dan menekan praktik-praktik spekulasi yang selama
ini menjadi parasit bagi pertumbuhan sektor ini.
Sementara itu,
proyek-proyek yang dibiayai pemerintah seperti infrastruktur, semestinya juga
dapat didesain agar secara langsung menciptakan lapangan kerja baru di
daerah-daerah.
Di samping itu,
dari sisi moneter juga dibutuhkan terobosan baru yang dapat memecahkan
rigiditas perbankan dalam menyalurkan kredit, mengingat penurunan tingkat suku
bunga acuan (BI 7 DayRepo Rate) dan Giro Wajib Minimum hingga kini masih belum
cukup ampuh dalam mendorong penyaluran kredit ke sektor riil. Hal itu yang
berarti juga membatasi penciptaan lapangan kerja di sektor ini. Kreativitas dan
sinergi di antara para pengambil kebijakan memang menjadi kunci dalam menjawab
tantangan penciptaan lapangan kerja ke depan. ***(Warji Permana)***
0 komentar:
Post a Comment