Wednesday, November 02, 2016

Pertumbuhan dan Kemandirian

   No comments     
categories: 
A Prasetyantoko
Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta


KOMPAS, 16 Mei 2014


SUASANA murung mulai terasa sejak rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal I-2014 yang hanya 5,21 persen. Padahal, prediksinya paling tidak 5,5 persen, bahkan 5,7 persen. Sudah tiga tahun berturut-turut pertumbuhan kuartal I selalu di atas 6 persen.

Memang biasanya kinerja pertumbuhan pada kuartal I belum maksimal, terutama dari sisi investasi dan pengeluaran pemerintah. Namun, dengan pertumbuhan kuartal I serendah itu, agak sulit mendorong pertumbuhan 2014 pada kisaran 5,8 persen. Itulah mengapa Bank Indonesia merevisi target pertumbuhan tahun ini menjadi 5,1 persen hingga 5,5 persen.

Penuruna pertumbuha terjadi   akibat   merosotnya   ekspo da investasi.   Sementara permintaan  domestik  tak  terlalu  terangkat  aktivitas  pemilu.  Ekspor  menurun  karena pemulihan ekonomi global lambat dan pertumbuhan Tiongkok turun. Sementara perlambatan investasi  terjadi  akibat  ketatnya  kebijakan  moneter dan  fiskal,  dalam  rangka memitigasi defisit transaksi berjalan.

Di sini trade-off kebijakan mulai terasa, antara mengatasi masalah jangka pendek dengan menjaga kepentingan jangka menengah. Kontradiksi itu harus ditemukan akar masalahnya; sehingga kita bisa tetap tumbuh sekitar 7 persen, tanpa harus mengalami defisit transaksi berjalan. Selama ini, kita memang sangat tergantung pada bahan baku dan modal asing dalam menopang pertumbuhan domestik kita. Itulah salah satu isu strategis yang harus diselesaikan lewat program kemandirian ekonomi pemerintah ke depan. Pertanyaannya, program kemandirian ekonomi seperti apa yang dibutuhkan?

Barang dan jasa

Ketergantungan kita pada pihak asing terlihat dari struktur impor, di mana pada Maret lalu 77 persen impor berupa bahan baku, 15 persen barang modal, dan hanya 8 persen saja barang konsumsi. Sudah sejak krisis 1997/1998, nyaris tak ada upaya membangun industri penghasil bahan baku. Pihak swasta tak berminat karena investasinya besar, sementara nilai tambahnya (margin) kecil. Pemerintah juga enggan menjalankan kebijakan industrial karena dianggap akan mendistorsi pasar.

Jika dilihat dalam kurun 10 tahun terakhir, pertumbuhan paling tinggi didominasi tiga sektor utama,  yaitu  ritel  dan  perdagangan,  transportasi  dan  telekomunikasi  serta  keuangan. Sementara  peran  sektor  manufaktur  justru  kian  tergusur.  Jika  2008  proporsi  sektor manufaktur terhadap PDB sekitar 27 persen, pada 2013 menyusut menjadi 25 persen. Pada periode itu, pertumbuhan rata-rata sektor manufaktur hanya berkisar 2-3 persen. Investasi, baik penanaman modal asing (PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN), tak terlalu tertarik masuk sektor yang keuntungannya rendah.

Absennya kebijakan industrial telah menimbulkan komplikasi persoalan pada dua sisi sekaligus. Pertama, tidak adanya investasi pada sektor intermediasi (penghasil bahan baku) di dalam negeri sehingga tergantung pada impor. Kedua, investasi sektor manufaktur melemah sehingga daya saing ekspor nonmigas juga rendah. Apalagi, dukungan pemerintah lewat penyediaan infrastruktur dan energi tak maksimal. Tekanan dari dua sisi sekaligus (ekspor dan impor) mengakibatkan neraca perdagangan selalu dalam posisi rentan. Sejak kuartal II-
2012, neraca perdagangan mulai defisit cukup besar, seiring berakhirnya booming komoditas. Jika neraca perdagangan defisit, neraca transaksi berjalan juga tertekan, karena neraca jasa


dan pendapatan selalu defisit. Defisit neraca transaksi berjalan mencapai puncaknya pada kuartal II-2013 senilai hampir 10 miliar dollar AS atau 4,4 persen PDB.

Sebelum pertengahan 2013, defisit transaksi berjalan tidak menjadi masalah karena aliran likuiditas masih kencang. Namun begitu booming likuiditas juga berakhir, komplikasi persoalan menjadi rumit, terutama terkait dengan persepsi investor portofolio. Guna memitigasi  kepanikan investor  akibat  buruknya  defisit  transaksi  berjalan, baik  kebijakan moneter maupun fiskal sama-sama ketat.

Bunga acuan BI (BI Rate) naik 175 basis poin menjadi 7,5 persen. Sementara pengetatan likuiditas juga dilakukan melalui kebijakan makroprudensial, seperti penerapan loan-to-value (LTV) atau kenaikan uang muka menjadi paling sedikit 30 persen pada sektor properti. Tahun ini, pertumbuhan kredit perbankan dibatasi 15-17 persen, sementara kewajiban penempatan di BI dalam bentuk giro wajib minimum (GWM) juga dinaikkan dua kali lipat menjadi 4 persen. Rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (loan to deposit ratio) dibatasi maksimum 92 persen.

Gabungan kebijakan moneter, makroprudensial, dan fiskal yang semuanya berorientasi kontraktif mulai membuahkan hasil. Neraca perdagangan Maret kembali surplus 673,2 juta dollar AS setelah Februari juga surplus 785,3 juta dollar AS. Sepanjang kuartal I-2014 ini perdagangan mengalami surplus 1,01 miliar dollar AS atau membaik dibandingkan dengan kuartal I-2013 yang mengalami defisit 234,9 juta dollar AS. Surplus perdagangan banyak ditopang kontraksi impor sehingga berdampak pada penurunan investasi.

Beberapa kebijakan bisa diarahkan untuk memutus kontradiksi penurunan impor dan pelemahan investasi. PMA bisa didorong untuk masuk ke sektor industri penghasil bahan baku (industri hulu) agar ketergantungan pada impor berkurang. Di sisi lain daya saing produk ekspor nonmigas harus didorong. Strategi industrialisasi harus kembali dibangun agar memiliki arah pengembangan industri berdaya saing regional dan global. PMA juga perlu diarahkan ke luar Jawa.

Berbagai instrumen fiskal dan nonfiskal bisa diberikan untuk mendorong investor, baik PMA maupun  PMDNPeraturaPresiden  Nomor  39  Tahun  2014  mengenai  Daftar  Negatif Investasi diharapkan bisa jadi insentif, terutama bagi PMA. Di luar itu, tentu saja perbaikan infrastruktur, energi dan perizinan harus dipercepat.

Ketergantungan modal

Ketergantungan modal asing terutama terjadi pada investasi portofolio. Periode pasca pelonggaran likuiditas di negara maju (AS) memiliki dua implikasi yang menguntungkan kita. Pertama, sebagian likuiditas masuk ke sektor komoditas sehingga harganya terangkat naik. Kita diuntungkan dengan booming komoditas ini. Kedua, mengingat suku bunga di negara maju mendekati nol, sementara likuiditas membanjir begitu besar akibat kebijakan ultra-easy money, investor membawa likuiditas ke negara berkembang untuk mencari penghasilan lebih tinggi.

Perbedaan suku bunga di Indonesia (BI Rate) dengan di AS (Fed Fund Rate) berkisar 5-6 persen sehingga banyak investor meminjam likuiditas dalam mata uang dolar dan menginvestasikan dalam mata uang rupiah. Perilaku carry trade ini telah membuat pasar modal dan keuangan kita juga mengalami booming. Jadi, periode 2008-2012 kita benar-benar diuntungkan dengan booming komoditas dan likuiditas sekaligus. Itulah mengapa 2011 kita mampu tumbuh 6,2 persen. Kini saat fase booming sudah berakhir, kemampuan kita tumbuh hanya sekitar 5,2 persen.


Satu risiko ketika neraca transaksi berjalan kita terus mengalami defisit, neraca pembayaran Indonesia (NPI) akan makin tergantung pada neraca modal dan finansial. Dan jika porsi investasi  portofolio  membesar,  itu  artinya  kita  sedang  mengekspose  perekonomian  pada situasi yang lebih rentan terhadap gejolak. Semakin tergantung modal asing portofolio, makin besar potensi kita mengalami guncangan.

Bagaimana kita harus memaknai isu kemandirian ekonomi, sementara faktanya kita begitu tergantung pada pihak asing, tidak hanya dari sisi modal, tetapi juga barang. Faktanya, tak mudah keluar dari konstalasi ketergantungan tersebut, selain membutuhkan fase transisional yang panjang. Itu pun jika dilakukan secara konsisten. Prinsip kemandirian ekonomi harus diterjemahkan dalam kebijakan teknis yang tidak kontraproduktif. Trade-off kebijakan akan selalu terjadi sehingga dibutuhkan navigasi yang mampu menyeimbangkan berbagai kepentingan.  Tantangan  paling  besar  dari  kebijakan  berorientasi  pengaturan  (intervensi) adalah penyalahgunaan wewenang. Jadi, sangat berbahaya prinsip kemandirian ekonomi berlumur dengan pemburuan rente.

0 komentar:

Post a Comment