A Prasetyantoko
Pengajar
di Unika Atma Jaya, Jakarta
KOMPAS, 16 Mei 2014
SUASANA murung
mulai terasa sejak rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal I-2014 yang
hanya 5,21 persen. Padahal, prediksinya paling tidak 5,5 persen, bahkan 5,7 persen. Sudah
tiga tahun berturut-turut pertumbuhan kuartal I selalu di atas 6 persen.
Memang biasanya kinerja pertumbuhan pada kuartal I belum maksimal, terutama dari sisi investasi dan pengeluaran pemerintah. Namun, dengan pertumbuhan kuartal I
serendah itu, agak sulit mendorong pertumbuhan 2014 pada kisaran 5,8 persen. Itulah mengapa Bank
Indonesia merevisi target pertumbuhan
tahun ini menjadi 5,1 persen hingga 5,5 persen.
Penurunan
pertumbuhan terjadi
akibat merosotnya
ekspor dan investasi. Sementara
permintaan domestik tak terlalu
terangkat
aktivitas pemilu. Ekspor menurun
karena pemulihan ekonomi global lambat dan pertumbuhan Tiongkok turun. Sementara perlambatan
investasi terjadi akibat
ketatnya kebijakan moneter dan fiskal,
dalam rangka memitigasi defisit transaksi
berjalan.
Di sini trade-off kebijakan mulai terasa, antara mengatasi masalah
jangka pendek dengan
menjaga kepentingan jangka
menengah. Kontradiksi itu harus ditemukan akar masalahnya;
sehingga kita bisa tetap tumbuh sekitar 7 persen, tanpa harus mengalami defisit transaksi
berjalan. Selama ini, kita memang
sangat tergantung
pada bahan baku dan modal asing dalam menopang pertumbuhan domestik
kita. Itulah salah satu isu strategis yang harus diselesaikan
lewat program kemandirian ekonomi
pemerintah ke depan. Pertanyaannya, program
kemandirian ekonomi seperti apa yang dibutuhkan?
Barang
dan
jasa
Ketergantungan kita pada pihak asing terlihat dari struktur impor, di mana pada Maret lalu 77 persen impor berupa bahan baku, 15 persen barang
modal, dan hanya 8 persen saja barang konsumsi. Sudah sejak
krisis 1997/1998, nyaris tak ada upaya
membangun industri
penghasil bahan baku. Pihak swasta tak berminat karena investasinya besar, sementara nilai tambahnya (margin) kecil. Pemerintah juga
enggan menjalankan kebijakan industrial karena dianggap akan mendistorsi pasar.
Jika dilihat dalam kurun 10 tahun terakhir,
pertumbuhan paling
tinggi didominasi tiga sektor
utama, yaitu ritel dan
perdagangan, transportasi
dan telekomunikasi serta keuangan. Sementara peran sektor manufaktur
justru kian tergusur. Jika
2008
proporsi sektor
manufaktur terhadap PDB sekitar 27 persen, pada 2013 menyusut menjadi 25 persen. Pada
periode itu, pertumbuhan rata-rata sektor manufaktur hanya berkisar 2-3 persen. Investasi,
baik penanaman modal asing
(PMA) maupun penanaman modal dalam negeri (PMDN), tak
terlalu tertarik masuk
sektor yang keuntungannya rendah.
Absennya kebijakan industrial telah menimbulkan komplikasi persoalan
pada dua sisi sekaligus. Pertama, tidak adanya investasi pada sektor intermediasi (penghasil bahan baku) di dalam negeri
sehingga tergantung pada
impor. Kedua, investasi sektor manufaktur melemah
sehingga daya saing
ekspor nonmigas juga rendah. Apalagi, dukungan pemerintah lewat
penyediaan infrastruktur dan energi tak maksimal. Tekanan dari dua sisi sekaligus (ekspor
dan
impor) mengakibatkan neraca perdagangan selalu dalam posisi rentan. Sejak kuartal II-
2012, neraca perdagangan mulai defisit cukup besar, seiring
berakhirnya booming
komoditas. Jika neraca perdagangan defisit, neraca transaksi berjalan juga tertekan, karena neraca jasa
dan pendapatan selalu defisit. Defisit neraca transaksi berjalan mencapai puncaknya pada kuartal II-2013
senilai hampir
10 miliar dollar AS atau 4,4 persen PDB.
Sebelum pertengahan 2013, defisit transaksi berjalan tidak menjadi masalah
karena aliran
likuiditas masih kencang. Namun begitu booming likuiditas juga berakhir, komplikasi
persoalan menjadi rumit, terutama terkait dengan persepsi investor portofolio. Guna
memitigasi kepanikan
investor akibat
buruknya defisit transaksi berjalan, baik
kebijakan moneter
maupun fiskal sama-sama ketat.
Bunga acuan BI (BI
Rate) naik 175 basis poin menjadi 7,5 persen. Sementara pengetatan likuiditas juga dilakukan melalui kebijakan makroprudensial, seperti penerapan loan-to-value (LTV) atau kenaikan
uang muka menjadi paling sedikit
30 persen pada sektor properti. Tahun
ini,
pertumbuhan kredit perbankan dibatasi 15-17 persen, sementara kewajiban penempatan
di BI dalam bentuk giro wajib minimum (GWM) juga dinaikkan dua kali lipat menjadi 4
persen. Rasio kredit terhadap dana pihak ketiga
(loan to deposit ratio) dibatasi maksimum 92 persen.
Gabungan kebijakan moneter, makroprudensial, dan fiskal yang semuanya berorientasi kontraktif mulai membuahkan hasil. Neraca perdagangan Maret kembali surplus 673,2 juta
dollar
AS setelah Februari juga surplus 785,3 juta dollar AS.
Sepanjang kuartal I-2014 ini perdagangan mengalami surplus
1,01 miliar dollar
AS atau
membaik dibandingkan dengan kuartal I-2013 yang
mengalami defisit 234,9 juta dollar AS. Surplus perdagangan banyak
ditopang kontraksi impor sehingga berdampak
pada penurunan investasi.
Beberapa kebijakan bisa diarahkan untuk memutus kontradiksi penurunan impor dan
pelemahan investasi. PMA bisa didorong untuk masuk ke sektor industri penghasil bahan baku (industri hulu) agar ketergantungan pada impor berkurang. Di sisi lain daya saing produk ekspor
nonmigas harus
didorong. Strategi industrialisasi harus
kembali dibangun agar memiliki arah pengembangan industri berdaya saing
regional dan global. PMA juga perlu diarahkan ke luar Jawa.
Berbagai instrumen fiskal dan nonfiskal bisa diberikan untuk mendorong
investor, baik PMA maupun
PMDN. Peraturan Presiden
Nomor 39
Tahun 2014 mengenai
Daftar
Negatif
Investasi diharapkan bisa jadi ”insentif”, terutama bagi PMA. Di luar
itu,
tentu saja perbaikan infrastruktur,
energi dan perizinan
harus dipercepat.
Ketergantungan modal
Ketergantungan modal asing terutama terjadi pada investasi
portofolio. Periode pasca pelonggaran likuiditas di negara maju (AS) memiliki dua implikasi yang menguntungkan
kita. Pertama, sebagian likuiditas masuk ke sektor komoditas sehingga harganya terangkat naik. Kita diuntungkan dengan booming
komoditas ini. Kedua, mengingat suku bunga di negara maju mendekati nol, sementara likuiditas membanjir begitu besar akibat kebijakan ultra-easy money, investor membawa likuiditas ke negara berkembang
untuk mencari penghasilan
lebih tinggi.
Perbedaan suku bunga di Indonesia (BI
Rate) dengan di AS (Fed Fund Rate)
berkisar 5-6
persen sehingga banyak investor meminjam likuiditas dalam mata uang
dolar dan menginvestasikan dalam mata uang rupiah. Perilaku carry trade ini telah membuat pasar modal dan keuangan kita juga mengalami booming. Jadi, periode
2008-2012 kita benar-benar
diuntungkan dengan booming
komoditas dan likuiditas sekaligus. Itulah mengapa 2011
kita mampu tumbuh 6,2 persen. Kini saat fase booming sudah berakhir, kemampuan kita
tumbuh hanya sekitar 5,2 persen.
Satu risiko ketika
neraca transaksi
berjalan kita
terus mengalami defisit, neraca pembayaran
Indonesia (NPI) akan makin tergantung pada neraca modal dan finansial. Dan jika porsi investasi portofolio
membesar,
itu artinya
kita sedang
mengekspose perekonomian pada situasi yang lebih rentan terhadap gejolak. Semakin tergantung modal asing portofolio, makin besar potensi
kita mengalami guncangan.
0 komentar:
Post a Comment