Sabaruddin Siagian SE MM
Dosen Institut Perbanas
Jakarta
KORAN JAKARTA, 13 Mei 2014
Rendahnya pertumbuhan ekonomi
pada kuartal I-2014 yang hanya 5,21 persen memang
mengejutkan. Pertumbuhan
ekonomi pada kuartal I-2014, diperkirakan
banyak
pihak,
seharusnya bisa 5,6–5,7 persen. Ini mengejutkan karena kurang komprehensif melihat faktor- faktor
keseluruhan yang
memengaruhi penurunan pertumbuhan ekonomi.
Data memang
menunjukkan tren pelambatan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2011,
pertumbuhan ekonomi
6,49 persen, dan tahun 2012 menurun menjadi 6,23 persen. Tahun
2013 menurun lagi menjadi 5,78 persen. Demikian juga
pada kuartal I-2014. Badan Pusat
Statistik mencatat pertumbuhan ekspor mengalami kontraksi, minus 0,78 persen, sebagai
salah satu sebab utama penurunan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2014.
Penurunan pertumbuhan ekspor
bisa
karena masih rendahnya kenaikan ekonomi
mitra dagang
utama seperti China, India, dan AS. Selain itu, belum pulihnya perekonomian global. Ini
tentu
sudah diperhitungkan dalam perkiraan pertumbuhan
ekonomi tahun 2014. Tetapi, penurunan pertumbuhan ekspor
karena
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang terkait pelarangan ekspor mineral,
belum diperhitungkan secara wajar pada
proyeksi
pertumbuhan
ekonomi 2014. Maka, mengejutkan
melihat pertumbuhan
ekspor yang kontraksi pada
kuartal I-2014.
Sejujurnya, bisa
membingungkan menjelang pemberlakuan UU
Minerba karena pelarangan
ekspor mineral
akan
menekan
ekspor
dan makin membebani tekanan defisit
transaksi berjalan (current
account)
serta menekan
stabilitas rupiah dan
perekonomian.
Saat itu, ada pertanyaan mengapa pemerintah tidak menunda pemberlakuan UU Minerba agar pelarangan ekspor mineral tidak “merepotkan”
stabilitas rupiah. Namun, berbagai kalangan
memberi argumentasi bahwa pemberlakuan UU Minerba
hanya berdampak jangka pendek pada
kinerja ekspor. Selanjutnya, justru akan memberi nilai tambah besar pada komoditas
ekspor dan memberi manfaat
besar
pada peningkatan ekspor
ke depan.
Karena ada niat yang
baik
untuk membangun industri pertambangan dan bermanfaat besar
pada perekonomian, penurunan ekspor karena pemberlakuan UU Minerba
harus diterima dengan lapang dada. Ini termasuk
menerima konsekuensi dampaknya.
Penurunan pertumbuhan ekonomi bukan saja karena pemberlakuan UU Minerba itu, tetapi
juga
adanya kebijakan moneter ketat Bank
Indonesia (BI) yang berdampak
pada pertumbuhan ekonomi. Hal itu tercermin pada pertumbuhan impor yang kontraksi minus 0,66
persen pada kuartal I/2014.
Akibat pemberlakuan kebijakan moneter ketat, dunia usaha
mengurangi ekspansi sehingga menurunkan impor bahan baku dan barang modal.
Memang kebijakan moneter ketat untuk
mengurangi
impor agar menurunkan
defisit transaksi berjalan.
Sengaja
Kebijakan
demikian bukan untuk menekan inflasi,
tetapi defisit transaksi
berjalan agar tercipta
stabilitas rupiah dan perekonomian berkelanjutan. Bila rupiah stabil, BI merencanakan dengan sadar untuk
menormalisasi atau menurunkan pertumbuhan ekonomi
yang sudah
berjalan.
Hasilnya
menurunkan defisit
transaksi berjalan.
Pada
kuartal II-2013, defisit
transaksi berjalan sangat tinggi, 8,9 miliar dollar AS atau 4,4 persen dari poduk domestik bruto (PDB).
Seiring dengan
kenaikan suku bunga acuan
(BI Rate), kuartal III-2013 defisit
transaksi berjalan menurun menjadi 3,9 persen dari
PDB. Puncak penurunan defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2013 menjadi
1,9 persen dari PDB.
Seiring
dengan penurunan defisit transaksi berjalan, stabilitas rupiah dan perekonomian dapat terjaga. Penguatan rupiah terus
berlanjut,
mencapai 11.500-an per dollar AS, sampai
dengan kuartal I-2014. Padahal pada kuartal II-2013, rupiah
pernah bergejolak mencapai 13.000-an
per dollar AS dikarenakan tingginya defisit transaksi berjalan tersebut.
Dengan adanya stabilitas rupiah yang terjaga dan adanya perbaikan indikator makroekonomi, khususnya penurunan inflasi
dan surplusnya necara perdagangan
pada
kuartal I-2014,
berbagai pihak meminta BI melonggarkan kebijakan moneternya supaya mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Permintaan
pelonggaran
kebijakan
moneter saat
ini tidak rasional
dalam menciptakan stabilitas rupiah
dan perekonomian.
Pelonggaran kebijakan moneter ini akan
memberikan ruang terhadap ketidakpastian stabilitas rupiah. Pasalnya, perekonomian kita masih
menghadapi tekanan
perekonomian global
terkait belum
pulihnya perekonomian global dan
masih berlanjutnya kebijakan bank sentral AS dalam pengurangan (tapering off) stimulus moneter atau quantitative easing serta adanya rencana kenaikan suku
bunga acuan,
The Federal Fund
Rate, pada pertengahan
tahun 2015 dikarenakan
pulihnya perekonomian
AS.
Bila
dipaksakan melonggarkan kebijakan moneter,
bisa memberi
ruang
bagi
instabilitas rupiah
dan perekonomian. Karena risiko pelarian
modal akan meningkat sangat tinggi lantaran suku bunga tidak kompetitif lagi dibanding
The
Federal Fund Rate. Padahal di sisi lain,
ekspor belum membaik, apalagi ada larangan ekspor
mineral, tentu menambah tekanan
terhadap defisit transaksi berjalan dan rupiah.
Penurunan pertumbuhan ekonomi 5,21 persen kuartal I-2014 sudah mencerminkan kapasitas
perekonomian. Diperkirakan juga
pertumbuhan ekonomi tahun 2014 hanya maksimal 5–5,3
persen dan jangan di bawah 5 persen kendati BI
masih memberlakukan kebijakan moneter
ketat sampai 2015. Apalagi ada koreksi perkiraan pertumbuhan ekonomi
versi BI menjadi
5,1–5,5 persen. Menteri Keuangan, Chatib Basri, menegaskan pertumbuhan ekonomi hanya
maksimal 5,5 persen.
Sejatinya, pertumbuhan 5–5,3 persen tahun
2014 sudah cukup baik karena
global masih menurun, diperkirakan hanya 3–3,5 persen. China hanya tumbuh 7,3 persen. Indonesia tak perlu berharap atau “bermimpi” tumbuh 6 persen, padahal global masih tertekan. Indonesia
harus menerima risiko sistemik perekonomian global sehingga ekonomi nasional
tak tumbuh maksimal.
Kendati
demikian,
masih ada
peluang meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi tahun
2015. Syaratnya, pemerintahan baru menaikkan harga minyak mendekati harga keekonomian
supaya anggaran subsidi energi berkurang.
Dengan begitu, mengurangi konsumsi minyak sehingga memperbaiki signifikan necara
perdagangan dan transaksi tahun berjalan.
Terakhir, kenaikan harga minyak tentu akan mengurangi anggaran subsidi energi. Dana
pengurangan subsidi energi ini untuk membangun
infrastruktur,
membangunan sektor
pertanian, dan meningkatkan
anggaran transportasi
massal. Perlu juga meningkatkan
anggaran infrastruktur,
pertanian, dan
industri. Terakhir perlu mereformasi kebijakan
fiskal.