Wednesday, November 02, 2016

Pelambatan Ekonomi

   No comments     
categories: 
Sabaruddin Siagian SE MM
Dosen Institut Perbanas Jakarta

KORAN JAKARTA, 13 Mei 2014


Rendahnya pertumbuhan ekonomi pada kuartaI-2014  yang hanya 5,21 persen memang mengejutkan. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2014, diperkirakan banyak pihak, seharusnya bisa 5,6–5,7 persen. Ini mengejutkan karena kurang komprehensif melihat faktor- faktor keseluruhan yang memengaruhi penurunan pertumbuhan ekonomi.

Data memang menunjukkan tren pelambatan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2011, pertumbuhan ekonomi 6,49 persen, dan tahun 2012 menurun menjadi 6,23 persen. Tahun
2013 menurun lagi menjadi 5,78 persen. Demikian juga pada kuartal I-2014. Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekspor mengalami kontraksi, minus 0,78 persen, sebagai salah satu sebab utama penurunan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2014.

Penurunan  pertumbuhan  ekspor  bisa  karena  masih  rendahnykenaikan  ekonomi  mitra dagang utama seperti China, India, dan AS. Selain itu, belum pulihnya perekonomian global. Ini tentu sudah diperhitungkan dalam perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2014. Tetapi, penurunan pertumbuhan ekspor karena pemberlakuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), yang terkait pelarangan ekspor mineral,  belum  diperhitungkan  secara  wajar  pada  proyeksi  pertumbuhan  ekonomi  2014. Maka, mengejutkan melihat pertumbuhan ekspor yang kontraksi pada kuartal I-2014.

Sejujurnya, bisa membingungkan menjelang pemberlakuan UU Minerba karena pelarangan ekspor  mineral  akan  menekan  ekspor  dan  makin  membebani  tekanan  defisit  transaksi berjalan (current account) serta menekan stabilitas rupiah dan perekonomian.

Saat itu, ada pertanyaan mengapa pemerintah tidak menunda pemberlakuan UU Minerba agar pelarangan ekspor mineral tidak merepotkan” stabilitas rupiah. Namun, berbagai kalangan memberi argumentasi bahwa pemberlakuan UU Minerba hanya berdampak jangka pendek pada kinerja ekspor. Selanjutnya, justru akan memberi nilai tambah besar pada komoditas ekspor dan memberi manfaat besar pada peningkatan ekspor ke depan.

Karena ada niat yang baik untuk membangun industri pertambangan dan bermanfaat besar pada perekonomian, penurunan ekspor karena pemberlakuan UU Minerba harus diterima dengan lapang dada. Ini termasuk menerima konsekuensi dampaknya.

Penurunan pertumbuhan ekonomi bukan saja karena pemberlakuan UU Minerba itu, tetapi jug adany kebijaka moneter   ketat   Bank   Indonesia   (BI yan berdampak   pada pertumbuhan ekonomi. Hal itu tercermin pada pertumbuhan impor yang kontraksi minus 0,66 persen pada kuartal I/2014.

Akibat pemberlakuan kebijakan moneter ketat, dunia usaha mengurangi ekspansi sehingga menurunkan impor bahan baku dan barang modal. Memang kebijakan moneter ketat untuk mengurangi impor agar menurunkan defisit transaksi berjalan.

Sengaja

Kebijakan  demikian  bukan  untuk  menekan  inflasi,  tetapi  defisit  transaksi  berjalan  agar tercipta   stabilita rupia da perekonomia berkelanjutan.   Bil rupia stabil,   BI merencanakan dengan sadar untuk menormalisasi atau menurunkan pertumbuhan ekonomi yang sudah berjalan.

Hasilnya  menurunkan  defisit  transaksi  berjalan.  Pada  kuartal  II-2013,  defisit  transaksi berjalan sangat tinggi, 8,9 miliar dollar AS atau 4,4 persen dari poduk domestik bruto (PDB).


Seiring  dengan  kenaikan  suku  bunga  acuan  (BI Rate),  kuartal  III-2013  defisit  transaksi berjalan menurun menjadi 3,9 persen dari PDB. Puncak penurunan defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2013 menjadi 1,9 persen dari PDB.

Seiring dengan penurunan defisit transaksi berjalan, stabilitas rupiah dan perekonomian dapat terjaga. Penguatan rupiah terus berlanjut, mencapai 11.500-an per dollar AS, sampai dengan kuartal I-2014. Padahal pada kuartal II-2013, rupiah pernah bergejolak mencapai 13.000-an per dollar AS dikarenakan tingginya defisit transaksi berjalan tersebut.

Dengan adanya stabilitas rupiah yang terjaga dan adanya perbaikan indikator makroekonomi, khususnypenurunan  inflasi  dan  surplusnya  necara  perdagangan  pada  kuartal  I-2014, berbagai pihak meminta BI melonggarkan kebijakan moneternya supaya mampu mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Permintaan  pelonggaran  kebijakan  moneter  saat  ini  tidarasional  dalam  menciptakan stabilitas rupiah dan perekonomian. Pelonggaran kebijakan moneter ini akan memberikan ruang terhadap ketidakpastian stabilitas rupiah. Pasalnya, perekonomian kita masih menghadapi tekanan perekonomian global terkait belum pulihnya perekonomian global dan masih berlanjutnya kebijakan bank sentral AS dalam pengurangan (tapering off) stimulus moneter atau quantitative easing serta  adanya  rencana kenaikan suku  bunga  acuan,  The Federal Fund Rate, pada pertengahan tahun 2015 dikarenakan pulihnya perekonomian AS.

Bila  dipaksakan  melonggarkan  kebijakan  moneter,  bisa  memberi  ruang  bagi  instabilitas rupiah  dan  perekonomian.  Karena  risiko  pelarian  modal  akan  meningkat  sangat  tinggi lantaran suku bunga tidak kompetitif lagi dibanding The Federal Fund Rate. Padahal di sisi lain, ekspor belum membaik, apalagi ada larangan ekspor mineral, tentu menambah tekanan terhadap defisit transaksi berjalan dan rupiah.

Penurunan pertumbuhan ekonomi 5,21 persen kuartal I-2014 sudah mencerminkan kapasitas perekonomian. Diperkirakan juga pertumbuhan ekonomi tahun 2014 hanya maksimal 5–5,3 persen dan jangan di bawah 5 persen kendati BI masih memberlakukan kebijakan moneter ketat sampai 2015. Apalagi ada koreksi perkiraan pertumbuhan ekonomi versi BI menjadi
5,1–5,5 persen. Menteri Keuangan, Chatib Basri, menegaskan pertumbuhan ekonomi hanya maksimal 5,5 persen.

Sejatinya, pertumbuhan 5–5,3 persen tahun 2014 sudah cukup baik karena global masih menurun, diperkirakan hanya 3–3,5 persen. China hanya tumbuh 7,3 persen. Indonesia tak perlu berharap atau bermimpi” tumbuh 6 persen, padahal global masih tertekan. Indonesia harus menerima risiko sistemik perekonomian global sehingga ekonomi nasional tak tumbuh maksimal.
Kendati  demikian,  masih  ada  peluang  meningkatkan  pertumbuhan  ekonomi  yang  cukup tinggi tahun 2015. Syaratnya, pemerintahan baru menaikkan harga minyak mendekati harga keekonomian supaya anggaran subsidi energi berkurang. Dengan begitu, mengurangi konsumsi minyak sehingga memperbaiki signifikan necara perdagangan dan transaksi tahun berjalan.

Terakhir, kenaikan harga minyak tentu akan mengurangi anggaran subsidi energi. Dana pengurangan subsidi energi ini untuk membangun infrastruktur, membangunan sektor pertanian,  dan  meningkatkan  anggaran  transportasi  massal.  Perlu  juga  meningkatkan anggaran infrastruktur, pertanian, dan industri. Terakhir perlu mereformasi kebijakan fiskal.