Wednesday, May 03, 2017

Studi Kemiskinan

   No comments     
categories: 

Kemiskinan secara asal penyebabnya terbagi menjadi 2 macam. Pertama adalah kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor adat atau budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu sehingga membuatnya tetap melekat dengan kemiskinan. Kemiskinan seperti ini bisa dihilangkan atau bisa dikurangi dengan mengabaikan faktor-faktor yang menghalanginya untuk melakukan perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kedua adalah kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang terjadi sebagai akibat ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem atau tatanan sosial yang tidak adil, karenanya mereka berada pada posisi tawar yang sangat lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri mereka sendiri dari perangkap kemiskinan atau dengan perkataan lain ”seseorang atau sekelompok masyarakat menjadi miskin karena mereka miskin”.


Secara konseptual, kemiskinan dapat dibedakan menurut kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut, dimana perbedaannya terletak pada standar penilaiannya. Standar penilaian kemiskinan relatif merupakan standar kehidupan yang ditentukan dan ditetapkan secara subyektif oleh masyarakat setempat dan bersifat lokal serta mereka yang berada dibawah standar penilaian tersebut dikategorikan sebagai miskin secara relatif. Sedangkan standar penilaian kemiskinan secara absolut merupakan standar kehidupan minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhaan dasar yang diperlukan, baik makanan maupun non makanan. Standar kehidupan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar ini disebut sebagai garis kemiskinan.




Beberapa Istilah Kemiskinan (dikutip dari Badan Pusat Statistik) : 

a. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan.
b. Garis Kemiskinan (GK) adalah total nilai pengeluaran untuk memenuhi
kebutuhan minimum makanan dan non makanan. GK terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM).

c. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2.100 kalori per kapita per hari.
Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).

d. Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.

e. Persentase Penduduk miskin (Head Count Index- P0) adalah persentase
penduduk miskin yang berada di bawah Garis Kemiskinan.

f. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) yang merupakan
ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap GK. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari GK.

g. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin.
Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.

14. Ketimpangan Pengeluaran. Gini Ratio adalah salah satu ukuran ketimpangan pengeluaran. Nilai Gini Ratio berkisar antara 0 (nol) dan 1 (satu). Nilai Gini Ratio yang semakin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi.

b. Ukuran Bank Dunia adalah salah satu ukuran ketimpangan yang mengacu pada besarnya jumlah pengeluaran (proksi pendapatan) pada kelompok 40persen penduduk terbawah. Adapun kriteria tingkat ketimpanganberdasarkan Ukuran Bank Dunia adalah sebagai berikut :

Bila persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen penduduk
terendah lebih kecil dari 12 persen, maka dikatakan terdapat ketimpangan tinggi.

Bila persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen penduduk
terendah antara 12 sampai dengan 17 persen, maka dikatakan terdapat ketimpangan moderat/sedang/menengah.

Bila persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen penduduk
terendah lebih besar dari 17 persen, maka dikatakan terdapat ketimpangan rendah. Pada tahun 2000 BPS pernah melakukan Studi Penentuan Kriteria Penduduk Miskin (SPKPM 2000) untuk mengetahui karakteristik-karakteristik rumah tangga yang mampu mencirikan kemiskinan secara konseptual (pendekatan kebutuhan dasar/garis kemiskinan). Hal ini menjadi sangat penting karena pengukuran makro (basic needs approach) tidak dapatdigunakan untuk mengidentifikasi individu rumah tangga/penduduk miskin dilapangan. Informasi ini berguna untuk penentuan sasaran rumah tangga program pengentasan kemiskinan (intervensi program). Cakupan wilayah studi ini meliputi tujuh provinsi, yaitu Sumatera Selatan, DKI Jakarta, DIYogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, danSulawesi Selatan. Dari hasil SPKPM 2000 tersebut, diperoleh 8 variabel yang dianggap layak dan operasional untuk penentuan rumah tangga miskin di lapangan. Skor 1 mengacu kepada sifat-sifat yang mencirikan kemiskinan dan skor 0 mengacu kepada sifat-sifat yang mencirikan ketidakmiskinan. Kedelapan variabel tersebut adalah:

1. Luas Lantai Perkapita :<= 8 m2 (skor 1)
> 8 m2 (skor 0)
2. Jenis Lantai :Tanah (skor 1)
Bukan Tanah (skor 0)
3. Air Minum/Ketersediaan Air Bersih :Air hujan/sumur tidak terlindung (skor 1)
Ledeng/PAM/sumur terlindung (skor 0)
4. Jenis Jamban/WC :Tidak Ada (skor 1)
Bersama/Sendiri (skor 0)
5. Kepemilikan Asset :Tidak Punya Asset (skor 1)
Punya Asset (skor 0)
6. Pendapatan (total pendapatan per bulan) :<= 350.000 (skor 1)
> 350.000 (skor 0)
7. Pengeluaran (persentase pengeluaran untuk makanan) :80 persen + (skor 1)
< 80 persen (skor 0)
8. Konsumsi lauk pauk (daging, ikan, telur, ayam) :Tidak ada/ada, tapi tidak bervariasi (skor 1)
Ada, bervariasi (skor 0)
Kedelapan variabel tersebut diperoleh dengan menggunakan metode stepwise logistic regression dan misklasifikasi yang dihasilkan sekitar 17 persen. Hasil analisis deskriptif dan uji Chi-Square juga menunjukkan bahwa kedelapan variabel terpilih tersebut sangat terkait dengan fenomena kemiskinan dengan tingkat kepercayaan sekitar 99 persen. Skor batas yang digunakan adalah 5 (lima) yang didasarkan atas modus total skor daridomain rumah tangga miskin secara konseptual. Dengan demikian apabilasuatu rumah tangga mempunyai minimal 5 (lima) ciri miskin maka rumahtangga tersebut digolongkan sebagai rumah tangga miskin.
Presiden Joko Widodo memastikan, pada 2017 ini Kabinet Kerja akan fokus mengurangi ketimpangan antarwilayah dan kesenjangan antarkelas. Presiden berulangkali mengulangi tekad itu. Program pemerataan kesejahteraan akan menjadi prioritas dan pekerjaan rumah utama Kabinet. Presiden meyakini, kesenjangan sosial yang lebar dan absennya keadilan akan menjadi ruang yang subur bagi tumbuhnya bibit-bibit intoleransi dan radikalisme. Kesenjangan sosial membuat ruang keadilan mudah sekali terkoyak.Jika mengacu indeks gini, ketimpangan sejatinya cenderung menurun: dari 0,41 (2011) jadi 0,397 (Maret 2016). Angka indeks gini berkisar nol (ektrem tidak timpang atau ekstrem merata) sampai satu (paling timpang). Angka di bawah 0,4 masuk kategori baik, angka 0,3 sampai 0,4 masuk kategori sedang, dan di atas 0,4 tergolong kategori burukPerhitungan indeks gini BPS berdasarkan data pengeluaran, bukan pendapatan atau kekayaan. Indeks gini berdasarkan pengeluaran menghasilkan angka ketimpangan lebih rendah ketimbang berdasarkan pendapatan dan kekayaan. Sebab, sekaya-kayanya seseorang tentu terbatas pula dalam menikmati hidup dari kekayaannya yang melimpah: makan tiga kali sehari, tak bisa naik tiga mobil sekaligus, dan terbatas waktu pesiarDikutip dari beritasatu.com, data yang rutin yang dipublikasikan Credit Suisse menunjukkan, ketimpangan kekayaan di Indonesia tertinggi keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand. Data sedikit berbeda dipublikasikan Infid dan Oxfam (2017) yang menempatkan Indonesia di peringkat keenam dalam ketimpangan distribusi kekayaan terburuk di dunia. Publikasi terbaru ketiga lembaga itu mencatat, 1% warga terkaya Indonesia pada 2016 menguasai 49,3% kekayaan nasional, dan 10% terkaya menguasai 75,7% kekayaan nasional.Ketimpangan individu amat tinggi. Jumlah miliarder meningkat dari hanya satu orang pada 2002 jadi 20 orang pada 2016, yang semuanya laki-laki. Pada 2016, kekayaan kolektif empat miliarder terkaya tercatat sebesar US$ 25 miliar, lebih besar dari total kekayaan 40% penduduk termiskin atau sekitar 100 juta orang. Hanya dalam sehari, orang Indonesia terkaya dapat meraup bunga dari kekayaannya lebih seribu kali lipat jumlah pengeluaran rakyat termiskin untuk kebutuhan dasar mereka selama setahun.

***(Warji Permana)***


0 komentar:

Post a Comment