Kemiskinan secara asal penyebabnya terbagi menjadi 2 macam. Pertama adalah kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor adat atau budaya suatu daerah tertentu yang membelenggu seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu sehingga membuatnya tetap melekat dengan kemiskinan. Kemiskinan seperti ini bisa dihilangkan atau bisa dikurangi dengan mengabaikan faktor-faktor yang menghalanginya untuk melakukan perubahan ke arah tingkat kehidupan yang lebih baik. Kedua adalah kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang terjadi sebagai akibat ketidakberdayaan seseorang atau sekelompok masyarakat tertentu terhadap sistem atau tatanan sosial yang tidak adil, karenanya mereka berada pada posisi tawar yang sangat lemah dan tidak memiliki akses untuk mengembangkan dan membebaskan diri mereka sendiri dari perangkap kemiskinan atau dengan perkataan lain ”seseorang atau sekelompok masyarakat menjadi miskin karena mereka miskin”.
Secara konseptual, kemiskinan dapat dibedakan menurut kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut, dimana perbedaannya terletak pada standar penilaiannya. Standar penilaian kemiskinan relatif merupakan standar kehidupan yang ditentukan dan ditetapkan secara subyektif oleh masyarakat setempat dan bersifat lokal serta mereka yang berada dibawah standar penilaian tersebut dikategorikan sebagai miskin secara relatif. Sedangkan standar penilaian kemiskinan secara absolut merupakan standar kehidupan minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhaan dasar yang diperlukan, baik makanan maupun non makanan. Standar kehidupan minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar ini disebut sebagai garis kemiskinan.
Beberapa Istilah Kemiskinan (dikutip dari Badan Pusat Statistik) :
a. Penduduk miskin adalah
penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah
Garis Kemiskinan.
b. Garis Kemiskinan (GK) adalah total nilai pengeluaran untuk memenuhi
kebutuhan minimum makanan dan non makanan. GK
terdiri dari dua komponen, yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM)
dan Garis Kemiskinan Bukan-Makanan (GKBM).
c. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan
dengan 2.100 kalori per kapita per hari.
Paket komoditi kebutuhan dasar makanan
diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur
dan susu, sayuran, kacangkacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
d. Garis Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM) adalah kebutuhan minimum
untuk perumahan, sandang, pendidikan, dan
kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51
jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan.
e. Persentase Penduduk miskin (Head Count Index- P0) adalah persentase
penduduk miskin yang berada di bawah Garis
Kemiskinan.
f. Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1) yang merupakan
ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran
masing-masing penduduk miskin terhadap GK. Semakin tinggi nilai indeks,
semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari GK.
g. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index-P2) yang memberikan gambaran mengenai penyebaran
pengeluaran di antara penduduk miskin.
Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan
pengeluaran di antara penduduk miskin.
14. Ketimpangan Pengeluaran. Gini Ratio adalah salah satu ukuran ketimpangan pengeluaran. Nilai Gini Ratio berkisar antara 0 (nol) dan 1 (satu). Nilai Gini Ratio yang semakin mendekati 1 mengindikasikan tingkat ketimpangan yang semakin tinggi.
b. Ukuran Bank Dunia adalah salah satu ukuran ketimpangan yang mengacu pada besarnya jumlah pengeluaran (proksi pendapatan) pada kelompok 40persen penduduk terbawah. Adapun kriteria tingkat ketimpanganberdasarkan Ukuran Bank Dunia adalah sebagai berikut :
▪ Bila
persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen penduduk
terendah lebih kecil dari 12 persen, maka
dikatakan terdapat ketimpangan tinggi.
▪ Bila
persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen penduduk
terendah antara 12 sampai dengan 17 persen,
maka dikatakan terdapat ketimpangan moderat/sedang/menengah.
▪ Bila
persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen penduduk
terendah lebih besar dari 17 persen, maka
dikatakan terdapat ketimpangan
rendah. Pada tahun 2000 BPS pernah melakukan Studi
Penentuan Kriteria Penduduk Miskin (SPKPM 2000) untuk mengetahui
karakteristik-karakteristik rumah tangga yang mampu mencirikan kemiskinan
secara konseptual (pendekatan kebutuhan dasar/garis kemiskinan).
Hal ini menjadi sangat penting karena pengukuran makro (basic needs
approach) tidak dapatdigunakan untuk mengidentifikasi individu rumah
tangga/penduduk miskin dilapangan.
Informasi ini berguna untuk penentuan sasaran rumah tangga program pengentasan kemiskinan (intervensi
program). Cakupan wilayah studi ini meliputi tujuh provinsi, yaitu
Sumatera Selatan, DKI Jakarta, DIYogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,
Kalimantan Barat, danSulawesi Selatan. Dari hasil SPKPM 2000 tersebut, diperoleh 8
variabel yang dianggap layak dan operasional untuk penentuan rumah
tangga miskin di lapangan. Skor 1 mengacu kepada sifat-sifat yang
mencirikan kemiskinan dan skor 0 mengacu kepada sifat-sifat yang mencirikan
ketidakmiskinan. Kedelapan variabel tersebut adalah:
1. Luas Lantai Perkapita : <= 8 m2 (skor 1)
> 8 m2 (skor 0)
2. Jenis Lantai : Tanah (skor 1)
Bukan Tanah (skor 0)
3. Air Minum/Ketersediaan Air Bersih : Air hujan/sumur tidak terlindung (skor 1)
Ledeng/PAM/sumur terlindung (skor 0)
4. Jenis Jamban/WC : Tidak Ada (skor 1)
Bersama/Sendiri (skor 0)
5. Kepemilikan Asset : Tidak Punya Asset (skor 1)
Punya Asset (skor 0)
6. Pendapatan (total pendapatan per bulan) : <= 350.000 (skor 1)
> 350.000 (skor 0)
7. Pengeluaran (persentase pengeluaran untuk
makanan) : 80 persen + (skor 1)
< 80 persen (skor 0)
8. Konsumsi lauk pauk (daging, ikan, telur,
ayam) : Tidak ada/ada, tapi tidak bervariasi (skor 1)
Ada, bervariasi (skor 0)
Kedelapan variabel tersebut diperoleh dengan
menggunakan metode stepwise logistic regression dan misklasifikasi
yang dihasilkan sekitar 17 persen. Hasil analisis deskriptif dan uji Chi-Square
juga menunjukkan bahwa kedelapan variabel terpilih tersebut
sangat terkait dengan fenomena kemiskinan dengan tingkat kepercayaan sekitar
99 persen. Skor batas yang digunakan adalah 5 (lima) yang didasarkan atas
modus total skor daridomain rumah tangga miskin secara konseptual.
Dengan demikian apabilasuatu rumah tangga mempunyai minimal 5 (lima)
ciri miskin maka rumahtangga
tersebut digolongkan sebagai rumah tangga miskin.
Presiden Joko
Widodo memastikan, pada 2017 ini Kabinet Kerja akan fokus mengurangi
ketimpangan antarwilayah dan kesenjangan antarkelas. Presiden berulangkali mengulangi tekad itu. Program pemerataan kesejahteraan akan menjadi prioritas dan
pekerjaan rumah utama Kabinet.
Presiden meyakini, kesenjangan sosial yang lebar dan absennya keadilan akan
menjadi ruang yang subur bagi tumbuhnya bibit-bibit intoleransi dan radikalisme. Kesenjangan sosial membuat ruang
keadilan mudah sekali terkoyak.Jika mengacu
indeks gini, ketimpangan sejatinya cenderung menurun: dari 0,41 (2011) jadi
0,397 (Maret 2016). Angka indeks
gini berkisar nol (ektrem tidak timpang atau ekstrem merata) sampai satu
(paling timpang). Angka di bawah 0,4
masuk kategori baik, angka 0,3 sampai 0,4 masuk kategori sedang, dan di atas
0,4 tergolong kategori buruk. Perhitungan
indeks gini BPS berdasarkan data
pengeluaran, bukan pendapatan atau kekayaan.
Indeks gini berdasarkan pengeluaran menghasilkan angka ketimpangan lebih rendah
ketimbang berdasarkan pendapatan dan kekayaan. Sebab, sekaya-kayanya seseorang tentu terbatas pula dalam
menikmati hidup dari kekayaannya yang melimpah: makan tiga kali sehari, tak
bisa naik tiga mobil sekaligus, dan terbatas waktu pesiar. Dikutip dari beritasatu.com, data yang rutin
yang dipublikasikan Credit Suisse menunjukkan, ketimpangan kekayaan di
Indonesia tertinggi keempat di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand. Data sedikit berbeda dipublikasikan
Infid dan Oxfam (2017) yang menempatkan Indonesia di peringkat keenam dalam
ketimpangan distribusi kekayaan terburuk di dunia. Publikasi terbaru ketiga lembaga itu mencatat, 1% warga terkaya
Indonesia pada 2016 menguasai 49,3% kekayaan nasional, dan 10% terkaya
menguasai 75,7% kekayaan nasional.Ketimpangan
individu amat tinggi. Jumlah
miliarder meningkat dari hanya satu orang pada 2002 jadi 20 orang pada 2016,
yang semuanya laki-laki. Pada 2016,
kekayaan kolektif empat miliarder terkaya tercatat sebesar US$ 25 miliar, lebih
besar dari total kekayaan 40% penduduk termiskin atau sekitar 100 juta orang. Hanya dalam sehari, orang Indonesia
terkaya dapat meraup bunga dari kekayaannya lebih seribu kali lipat jumlah
pengeluaran rakyat termiskin untuk kebutuhan dasar mereka selama setahun.
***(Warji Permana)***
0 komentar:
Post a Comment