Joseph Henricus Gunawan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mendapat koreksi dari lembaga internasional. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)
memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 6,1 persen menjadi 5,8 persen pada 2012 dan dari 6,5 persen menjadi
6 persen pada 2013. Dana Moneter Internasional
(IMF) dan Bank Dunia (World Bank) memprediksi pertumbuhan
ekonomi Indonesia
sebesar
6,3 persen, sedangkan Bank Pembangunan Asia (ADB)
memperkirakan pertumbuhan
6,1-6,2 persen. Bank Indonesia
(BI)
memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4-6,8 persen pada 2013 dan di kisaran 6,3-
6,7 persen
pada 2012.
Bagaimana pun Indonesia masih tetap rentan terhadap risiko perubahan global yang
bisa memicu arus balik modal asing (sudden reverse capital flow). Di
tengah ketidakpastian dan
masih belum menentunya kondisi perekonomian global yang berpotensi mengarah pada krisis ekonomi global, target pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013, sebagaimana usulan asumsi proyeksi diajukan
pemerintah
dalam penyusunan rancangan Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) 2013, yakni sebesar 6,8-7,2 persen yang sudah disetujui
DPR, diperkirakan bakal sulit terealisasi.
Dalam acara World Economic Forum on East Asia (WEFEA) 2012 di Bangkok, Thailand, baru-baru
ini Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Pascal Lamy
memastikan Asia tidak akan selamanya kebal dan bisa
lolos dari dampak krisis global dan krisis utang di Zonaeuro. Karena, negara-negara Asia sudah makin terhubung dengan seluruh
dunia berkenaan dengan terus naiknya
jumlah kebijakan proteksionisme di kawasan Asia
dalam enam bulan
terakhir.
Menurut Lamy, sejak krisis keuangan global pada 2008,
praktik proteksionisme telah
menggerus nilai perdagangan global sebesar 3 persen dan jumlah total kerugian
penurunan volume nilai perdagangan dunia telah mencapai 500 miliar dolar AS atau setara dengan jumlah
total perdagangan di
benua Afrika, Brasil, dan India.
WEFEA 2012 yang
bertajuk Shaping the Region's Future through Connectivity merilis pernyataan bahwa
betapa krusial dan signifikan kolaborasi erat antar-negara
kawasan Asia
Timur dan ASEAN dengan
meningkatkan konektivitas
di berbagai bidang. Antara lain,
sektor transportasi dan perhubungan, kepariwisataan, ketahanan pangan, energi, perdagangan, investasi, serta telekomunikasi dan informasi untuk mempertebal daya
tahan kawasan Asia Timur dan ASEAN, sekaligus mengantisipasi, dan meminimalkan risiko terhadap krisis ekonomi global.
Kerja sama dan kolaborasi aktivitas saling membantu keuangan untuk
memperkuat daya tahan Asia. Ini untuk mengantisipasi fenomena masuknya aliran dana
ke pasar keuangan namun mulai berbalik arah atau terjadi potensi pelarian modal asing secara besar-besaran (sudden massive capital outflow) untuk sementara waktu, yang bisa menggoyahkan tingkat
suku bunga, nilai tukar, dan posisi cadangan devisa.
Selain itu, kendala kenaikan harga pangan dunia, dan meningkatnya harga minyak dunia,
secara substansi memperbesar beban fiskal atas subsidi energi, yang
menjadi sumber utama distorsi ekonomi. Itu pun karena
menurunnya aktivitas ekonomi di sejumlah negara, tidak
terkecuali AS
dan Jepang, yang juga sedang sulit memulihkan
pasar
tenaga kerja.
Terhambat dan melemahnya proses pemulihan pasar
tenaga kerja di AS menyusul kenaikan
tingkat pengangguran pada Mei 2012 yang mencapai 8,2 persen dari total angkatan kerja, kemungkinan bank sentral AS (The Federal Reserve) akan melonggarkan kebijakan moneter
dan
menggelontorkan program pemborongan aset melalui skema
kebijakan Quantitative Easing
(QE) 3. Kebijakan QE 3 dikhawatirkan akan menyebabkan lonjakan harga komoditas, mendongkrak, mendorong
investor mengarahkan investasi sekaligus memicu risiko arus
derasnya hot money dana asing ke emerging market, terutama Asia yang saat ini tengah
berjibaku mengatasi
inflasi.
Pertumbuhan ekonomi
harus lebih bertumpu pada
investasi tinggi untuk peningkatan
bidang teknologi untuk mendongkrak nilai tambah. Karena, nilai tambah itu akan jauh
lebih tinggi kalau lebih dulu diolah di dalam negeri dibandingkan mengekspor bahan mentah dan barang
setengah jadi produk pertambangan dan perkebunan, apalagi produk yang
dihasilkan diproduksi di negara tujuan
ekspor.
Bahkan, Lembaga
Penelitian, Pengembangan, dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Kadin
mempertegas dengan
mengungkapkan
selama ini
produksi dalam
negeri
tidak
mampu
bersaing dan belum siap melakukan persaingan global skala besar. Hal itu, karena produk
dalam negeri tidak memiliki keunggulan dan teknologi modern yang
tercanggih, termutakhir,
terkini, dan terbaru
belum terserap dengan baik dalam pengolahan bahan baku. Sehingga, produk yang dihasilkan
tidak
kompetitif.
Sungguh tepat seperti yang diajarkan oleh Michael Eugene Porter, ahli bidang strategi
persaingan
internasional
mempunyai
pandangan
yang
menarik bahwa
teknologi sangat
krusial bagi persaingan tidak diputuskan
oleh kadar keilmiahannya ataupun
oleh penampilannya
dalam produk fisik. Nantinya, setiap jenis teknologi yang diimplementasikan bisa berdampak signifikan pada persaingan.
Sementara pertumbuhan ekonomi berkualitas berarti pertumbuhan ekonomi yang bisa mendistribusikan pembangunan dan melakukan distribusi pendapatan secara merata untuk rakyat melalui pengembangan
dan
pemerataan ekonomi dengan kebijakan prorakyat. Hal ini, akan memperkuat
ekonomi domestik dan investasi
fokus
pada sektor
riil
yang dapat
dinikmati dan berkaitan langsung
dengan rakyat. Sektor riillah yang
mampu
menyediakan
lapangan kerja dan berdampak langsung pada peningkatan konsumsi, kesejahteraan rakyat, dan
mempercepat produktivitas
agar
kemiskinan
dan
pengangguran
dapat diminimalkan.
Joseph Henricus Gunawan
Alumnus
University of Southern
Queensland (USQ),
Australia
SUARA KARYA, 28 Juni 2012