Holden Makmur
SEJAK 2010, hampir semua mata uang Asia menguat akibat mengalirnya modal yang sangat
besar
dari negara-negara Eropa dan Amerika. Aliran modal itu disebabkan oleh hilangnya kepercayaan pasar terhadap Eropa
dan
Amerika akibat krisis keuangan yang melanda
kedua
kawasan tersebut. Uni Eropa gagal membuat kesepakatan untuk membantu kedua negara
yang paling berat dilanda krisis
likuiditas ini.
Di Amerika Serikat, konsep jaminan kesehatan yang ditawarkan Presiden Barack Obama sempat ditolak kongres. Para pemodal berupaya menyelamatkan diri dari ancaman krisis dengan mengalihkan modal mereka ke negara-negara yang
masih bisa memberikan
keuntungan positif. Indonesia termasuk negara
peringkat ketiga di Asia sebagai tujuan para
investor untuk diinvestasikan,
selain Korea dan India. Dengan stabilitas ekonomi dan kondisi sosial politik nasional,
dan
terutama masalah keamanan, investor berbondong-bondong
mengalihkan modal mereka ke Indonesia.
Rupiah cenderung
menguat dan stabil di kisaran 9.000 per dolar AS walaupun neraca perdagangan kita negatif. Namun, arus capital inflow yang sangat besar bisa menutupi
defisit neraca perdagangan kita sehingga rupiah masih bisa stabil. Bahkan Bank Indonesia
(BI)
sampai menurunkan suku bunga hingga ke level 5,75% agar modal masuk ini bisa diserap
oleh sektor riil.
Namun, dalam beberapa
bulan terakhir, nilai tukar rupiah sempat terdepresiasi bahkan mencapai 8,65%. Nilai itu menjadi level terendah sejak September
2009.
Pergerakan nilai tukar
rupiah mengikuti tren melemahnya nilai mata uang negara Asia lain. Kondisi itu disebabkan oleh membaiknya perekonomian Amerika Serikat dan Eropa. Bahkan kondisi
tersebut diperkuat
dengan pernyataan gubernur bank sentral Amerika
Serikat
yang akan memperpanjang stimulus perekonomian negara
tersebut
hingga
akhir 2013. Tentu
saja investor memiliki ekspektasi yang tinggi
terhadap
pengembalian
investasi
dari negara tersebut.
Investor kembali mengalihkan modalnya ke negara-negara yang berasal dari kedua kawasan
ini.
BI mencatat pada kuartal kedua 2013, arus modal keluar (capital outflow) mencapai
US$4,1 miliar (sekitar Rp40,1 triliun).
Rupiah berada
di urutan kedua dengan pelemahan sebesar 7,27%
terhadap dolar AS dalam
setahun terakhir. Yen Jepang
menjadi mata uang
Asia yang mengalami pelemahan paling besar terhadap dolar
AS, yakni mencapai 19,62%. Pergerakan rupiah
sedikit menunjukkan anomali
terhadap
Indeks Harga
Saham Gabungan
(IHSG). Seharusnya
rupiah menguat
seiring dengan IHSG yang meningkat
tajam.
Namun, yang terjadi tidak demikian. Rupiah melemah sampai menembus lebih dari 10.000 per
dolar AS, justru di tengah IHSG yang menanjak naik
ke level 5.214,97 poin.
Menjaga kestabilan
Mengapa kita perlu menjaga
stabilitas rupiah? Ada
beberapa hal yang sangat membutuhkan
stabilitas rupiah. Pertama, stabilitas rupiah ini membuat
adanya kepastian pembayaran utang luar negeri dalam bentuk valuta asing
(valas), baik oleh pemerintah maupun swasta. Kedua,
kepastian harga barang impor bahwa harga-harga barang
tersebut benar-benar tergantung stabilitas rupiah.
Kebutuhan
barang impor di pasar domestik masih sangat tinggi. Hal itu ditunjukkan dengan
neraca perdagangan kita yang
defisit. Ketiga, anggaran pemerintah yang
disusun berdasarkan
asumsi harga kurs
dengan besaran tertentu juga harus mengalami penyesuaian, dan hal itu
akan
sangat mengganggu kinerja pemerintahan.
Sebenarnya rupiah
bisa dijaga pada kisaran
Rp7.800 Rp8.900 per dolar AS. Syaratnya, neraca perdagangan Indonesia surplus di sektor migas. Syarat yang
lain, kontrol BI berjalan efektif. Salah satunya dengan menjaga ketersediaan dolar. BI harus mengantisipasi perilaku pelaku
pasar yang
memiliki modal besar karena bisa memengaruhi pasar uang. BI sudah melakukan
langkah yang tepat dengan
menaikkan suku bunga dari
5,75% menjadi 6%.
Kenaikan suku bunga itu diharapkan
mampu mencegah arus modal
keluar semakin besar. BI
juga
melakukan langkah persuasif kepada perbankan yang
menempatkan valasnya di
luar negeri. BI mengklaim bahwa perbankan sudah melepas valasnya di pasar domestik.
Kita berharap dampak
kebijakan
BI ini akan
memperkuat rupiah relatif terhadap dolar AS.
Salah
satu alternatif lain untuk menjaga
stabilitas rupiah ialah dengan mengandalkan pertumbuhan sektor properti. Setahun terakhir, pasar
properti dalam negeri mengalami
pertumbuhan yang paling tinggi di dunia. Momentum itu bisa dimanfaatkan
untuk membantu penguatan
rupiah.
Walaupun sampai saat ini pemerintah tidak memperbolehkan orang asing untuk
memiliki properti di Indonesia, yang terjadi ialah justru harga properti banyak diminati orang asing.
Akibatnya, harga properti
pun melonjak tinggi,
bahkan
mencapai lebih
dari Rp3 miliar.
Dampak lain
Sebenarnya
melemahnya rupiah ini tidak hanya memiliki dampak negatif.
Dampak positif yang jarang
sekali dimanfaatkan pengusaha dan pemerintah Indonesia ialah relatif semakin
murahnya harga produk domestik Indonesia di pasar luar
negeri. Dalam kondisi normal, melemahnya rupiah akan membuat negara-negara asing
lebih suka mengimpor produk Indonesia
karena harganya relatif lebih murah.
Namun, rendahnya kualitas produksi dalam negeri membuat momentum ini hampir
tidak pernah bisa kita manfaatkan. Negara-negara yang ekspornya besar seperti Jepang
bahkan sering
mendevaluasi nilai mata uang yen agar produk-produk negara tersebut memiliki harga
kompetitif di pasar
internasional.
Pemerintah harus mendorong eksportir kita
mengambil momentum ini untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi domestik, sekaligus
menarik sejumlah valas dalam
bentuk dolar
masuk ke dalam negeri. Secara otomatis, jika neraca perdagangan kita positif atau
setidaknya membaik ketimbang
periode-periode sebelumnya, akan menguatkan kembali nilai mata uang
rupiah.
Sebelum kita mampu
menciptakan produk ekspor yang unggul, maka melemahnya rupiah ini
harus disikapi hati-hati
agar
tidak
menciptakan krisis. Untuk itu,
pemerintah
harus
mencermati pergerakan
rupiah dengan melakukan langkah-langkah yang efektif dan
efisien.
Dengan langkah yang cermat, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tetap tumbuh dengan baik. Importir pun bisa hidup tenang sesuai dengan patokan pertumbuhan ekonomi yang
telah ditetapkan, yakni sebesar 6,5% hingga akhir 2013. Dengan kondisi
seperti itu, memasuki
2014 pun bisa dihadapi penuh percaya
diri. Sambil berharap 2014 dapat berjalan mulus dan
memunculkan kepemimpinan yang lebih baik.
Holden Makmur
Pengamat
Ekonomi dan Sosial
MEDIA INDONESIA, 1
Agustus 2013