Joko Tri Haryanto
Pada
RAPBN 2014 yang disampaikan
Presiden
tanggal 16 Agustus 2013, upaya pemerintah mencapai indikator-indikator ekonomi dinilai cukup optimistis. Target pertumbuhan ekonomi
6,4 persen, sebelumnya 6,3 persen dengan tingkat inflasi y-o-y 4,5 persen dan suku bunga
SPN
3 bulan 5,5 persen.
Pemerintah juga optimistis mampu menjaga nilai tukar (Rp/US$) 9.750 dibanding target
APBN-P 2013 sebesar 9.600 walau hari-hari ini masih di atas 10.000. Target harga minyak
106 yang
dalam APBN-P 2013 sekitar 108. Lifting minyak (ribu barel/hari) ditetapkan 870, dalam APBN-P 2013 sebesar
840. Kemudian lifting gas (ribu barel setara minyak/hari) sebesar
1.240 sama dengan target
APBN-P 2013.
Tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2014 adalah "Memantapkan Perekonomian
Nasional bagi Peningkatan
Kesejahteraan
Rakyat yang
Lebih Berkeadilan." Ini diselaraskan
dengan empat pilar pembangunan yang
bersifat pro-poor, pro-growth, por-job, dan pro-
environment. Strategi kebijakan fiskal yang akan dilakukan tahun depan mengusung
tema "Memperkuat Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif,
Berkualitas,
dan
Berkelanjutan melalui Pelaksanaan Kebijakan Fiskal yang Sehat dan Efektif."
Cukup menarik
jika dicermati pemilihan tema
2014 terkait pertumbuhan ekonomi yang inklusif mengingat isu tersebut cukup marak diwacanakan. Secara teori, isu pertumbuhan inklusif muncul sebagai koreksi pertumbuhan ekonomi konvensional yang dirasakan justru
menyisakan
permasalahan besar di bidang lingkungan
hidup, sumber daya alam,
dan sosial.
Dalam sebuah diskusi ilmiah,
mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, menyebutkan pembangunan ekonomi konvensional lebih didominasi paradigma "pasar sebagai alokasi sumber daya untuk output yang lebih efisien." Akibatnya, pembangunan melahirkan dampak sosial serius serta pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM)
seperti kemiskinan, ketimpangan, konflik,
serta persoalan lingkungan, termasuk ancaman perubahan iklim dan merosotnya keragaman hayati. Dalam
lingkup ini,
pertumbuhan hijau (green growth) pun dirasa
tidak mampu mewakili besarnya kerusakan sosial dan menipisnya cadangan SDA
sehingga dipilih
istilah pertumbuhan inklusif (inclusive growth). Pertumbuhan inklusif diharapkan mampu menghasilkan spektrum yang lebih luas, termasuk permasalahan sosial akibat
eksploitasi SDA dan lingkungan
dengan mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai dasar regulasi pengembangan pertumbuhan inklusif, Badan PBB untuk Lingkungan (UNEP), dalam Pertemuan Rio 20,
meluncurkan indikator
pencapaian
berupa Inclusive
Wealth Index (IWI) atau Indeks Kekayaan Inklusif. IWI pada dasarnya memfokuskan
perhatiannya pada pencapaian hakiki penciptaan kesejahteraan masyarakat antargenerasi
(sustainable wealth).
Inklusif Sebagai sebuah mekanisme
penganggaran, APBN
memiliki peran yang sangat signifikan bagi pemerintah
dalam mengintervensi pembangunan demi pertumbuhan ekonomi
yang adil, merata, dan berkelanjutan. Mengacu
pada nomenklatur resmi internasional, APBN terdiri dari pos Pendapatan Negara & Hibah;, Belanja Negara, dan
Pembiayaan. Dari sisi pendapatan negara, APBN dapat mendukung akselerasi pembangunan
melalui berbagai
skema
insentif/disinsentif pajak
dan nonpajak.
Sementara, dari sisi belanja negara, APBN dapat mengintervensi melalui kebijakan subsidi dan
penganggaran kementerian/lembaga (K/L), yang
diharapkan mampu mengkreasikan
sisi demand sebagai salah satu penentu pertumbuhan ekonomi. Begitu pula
peran dari sisi pembiayaan
baik
tidak
langsung
maupun
langsung melalui
peran investasi pemerintah.
Sayang, menurut beberapa pengamat, APBN
belum mampu memainkan peran, khususnya terkait dengan upaya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Hal ini ditandai dengan masih besarnya alokasi
belanja birokrasi, khususnya yang bersifat rutin.
Dalam RAPBN 2014,
misalnya, pemerintah masih mengalokasikan belanja
pegawai 276,7
triliun atau meningkat 18,8 persen dari alokasi APBN-P 2013 sebesar 240,2 triliun. Tren kenaikan bahkan sudah
terjadi lima tahun terakhir
sejak 2007 sebesar 90,4 triliun. Tahun
2009 jadi 127,6 triliun dan 2013 sebesar 241,6 triliun. Di sisi lain, alokasi
belanja modal dalam RAPBN 2014 hanya meningkat 6,9 persen menjadi 205,8 triliun dari APBNP 2013. Alokasi belanja modal lima tahun terakhir juga meningkat meskipun dalam persentase yang
lebih kecil. Tahun 2007 sebesar 64,3 triliun menjadi 75,9 triliun (2009) dan 184,4 triliun (2013).
Anggaran infrastruktur
juga meningkat lima tahun terakhir, misalnya APBN 2010 sebesar 86 triliun
menjadi 114,2 triliun (2011)
dan 145,5 triliun
(2012) serta 188,7
triliun (2014).
Namun, keterbatasan APBN memaksa pemerintah mengurangi alokasi
belanja sosial (bansos)
dari 82,5 triliun menjadi 55,9 triliun rupiah. Padahal bansos ini sering dipandang
sebagai bentuk intervensi langsung
dari pemerintah kepada masyarakat. Dalam lima tahun terakhir,
alokasi bansos relatif fluktuatif dari
alokasi belanja lainnya.
Ketidakmampuan APBN menciptakan pertumbuhan yang
inklusif juga disebabkan masih besarnya beban belanja subsidi, khususnya subsidi energi. Dalam R-APBN 2014,
beban subsidi energi masih 284,7 triliun, untuk BBM, LPG, BBN
194,9 triliun, listrik (89,8
triliun). APBN 2013 mengalokasikan
274,7 triliun untuk BBM
193,8 triliun dan listrik 80,9 triliun.
Ada penurunan. Transfer ke daerah 586,4 triliun.
APBN 2013 sebesar 528,63 triliun dan APBN-P 2013 jadi 529,4
triliun. Ini terdiri dari alokasi Dana
Perimbangan (481,8 triliun), Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian (104,6
triliun). Sebelumnya, Dana Otsus
hanya untuk Provinsi NAD,
Papua
dan Papua Barat, dalam R-APBN
2014 mulai memasukkan alokasi keistimewaan Provinsi
DIY sebesar 0,5 triliun rupiah. Di masa depan, subsidi harus lebih efisien agar
APBN dapat berfungsi optimal dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, adil, dan
merata.
Joko Tri Haryanto
Penulis bekerja di Kementerian
Keuangan
KORAN JAKARTA, 23 Agustus 2013