Wednesday, November 02, 2016

Pertumbuhan Inklusif APBN 2014

   No comments     
categories: 
Joko Tri Haryanto

Pada RAPBN 2014 yang disampaikan Presiden tanggal 16 Agustus 2013, upaya pemerintah mencapai indikator-indikator ekonomi dinilai cukup optimistis. Target pertumbuhan ekonomi
6,4 persen, sebelumnya 6,3 persen dengan tingkat inflasi y-o-y 4,5 persen dan suku bunga
SPN 3 bulan 5,5 persen.

Pemerintah juga optimistis mampu menjaga nilai tukar (Rp/US$) 9.750 dibanding target
APBN-P 2013 sebesar 9.600 walau hari-hari ini masih di atas 10.000. Target harga minyak
106 yang dalam APBN-P 2013 sekitar 108. Lifting minyak (ribu barel/hari) ditetapkan 870, dalam  APBN-P  2013  sebesar  840.  Kemudian  lifting  gas  (ribu  baresetara  minyak/hari) sebesar 1.240 sama dengan target APBN-P 2013.

Tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2014 adalah "Memantapkan Perekonomian Nasional bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat yang Lebih Berkeadilan." Ini diselaraskan dengan empat pilar pembangunan yang bersifat pro-poor, pro-growth, por-job, dan pro- environment. Strategi kebijakan fiskal yang akan dilakukan tahun depan mengusung tema "Memperkuat Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif, Berkualitas, dan Berkelanjutan melalui Pelaksanaan Kebijakan Fiskal yang Sehat dan Efektif."

Cukup menarik jika dicermati pemilihan tema 2014 terkait pertumbuhan ekonomi yang inklusif mengingat isu tersebut cukup marak diwacanakan. Secara teori, isu pertumbuhan inklusif muncul sebagai koreksi pertumbuhan ekonomi konvensional yang dirasakan justru menyisakan permasalahan besar di bidang lingkungan hidup, sumber daya alam, dan sosial.

Dalam sebuah diskusi ilmiah, mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, menyebutkan pembangunan ekonomi konvensional lebih didominasi paradigma "pasar sebagai alokasi sumber daya untuk output yang lebih efisien." Akibatnya, pembangunan melahirkan dampak sosial serius serta pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) seperti kemiskinan, ketimpangan, konflik, serta persoalan lingkungan, termasuk ancaman perubahan iklim dan merosotnya keragaman hayati. Dalam lingkup ini, pertumbuhan hijau (green growth) pun dirasa tidak mampu mewakili besarnya kerusakan sosial dan menipisnya cadangan SDA sehingga dipilih istilah pertumbuhan inklusif (inclusive growth). Pertumbuhan inklusif diharapkan mampu menghasilkan spektrum yang lebih luas, termasuk permasalahan sosial akibat eksploitasi SDA dan lingkungan dengan mengatasnamakan pertumbuhan ekonomi.

Sebagai dasar regulasi pengembangan pertumbuhan inklusif, Badan PBB untuk Lingkungan (UNEP),  dalam  Pertemuan  Rio  20,  meluncurkan  indikator  pencapaian  berupa  Inclusive Wealth Index (IWI) atau Indeks Kekayaan Inklusif. IWI pada dasarnya memfokuskan perhatiannya pada pencapaian hakiki penciptaan kesejahteraan masyarakat antargenerasi (sustainable wealth). Inklusif Sebagai sebuah mekanisme penganggaran, APBN memiliki peran  yang sangat signifikan bagi  pemerintah  dalam mengintervensi pembangunan demi pertumbuhan ekonomi yang adil, merata, dan berkelanjutan. Mengacu  pada nomenklatur resmi internasional, APBN terdiri dari pos Pendapatan Negara & Hibah;, Belanja Negara, dan Pembiayaan. Dari sisi pendapatan negara, APBN dapat mendukung akselerasi pembangunan melalui berbagai skema insentif/disinsentif pajak dan nonpajak.

Sementara, dari sisi belanja negara, APBN dapat mengintervensi melalui kebijakan subsidi dan penganggaran kementerian/lembaga (K/L), yang diharapkan mampu mengkreasikan sisi demand sebagai salah satu penentu pertumbuhan ekonomi. Begitu pula peran dari sisi pembiayaan  baik  tidak  langsung  maupun  langsung  melalui  peran  investasi  pemerintah.


Sayang, menurut beberapa pengamat, APBN belum mampu memainkan peran, khususnya terkait dengan  upaya menciptakan pertumbuhaekonomi  yang inklusif.  Hal ini ditandai dengan masih besarnya alokasi belanja birokrasi, khususnya yang bersifat rutin.

Dalam RAPBN 2014, misalnya, pemerintah masih mengalokasikan belanja pegawai 276,7 triliun atau meningkat 18,8 persen dari alokasi APBN-P 2013 sebesar 240,2 triliun. Tren kenaikan bahkan sudah terjadi lima tahun terakhir sejak 2007 sebesar 90,4 triliun. Tahun
2009 jadi 127,6 triliun dan 2013 sebesar 241,6 triliun. Di sisi lain, alokasi belanja modal dalam RAPBN 2014 hanya meningkat 6,9 persen menjadi 205,8 triliun dari APBNP 2013. Alokasi belanja modal lima tahun terakhir juga meningkat meskipun dalam persentase yang lebih kecil. Tahun 2007 sebesar 64,3 triliun menjadi 75,9 triliun (2009) dan 184,4 triliun (2013).

Anggaran infrastruktur juga meningkat lima tahun terakhir, misalnya APBN 2010 sebesar 86 triliun  menjadi  114,2  triliun  (2011)  dan  145,5  triliun  (2012)  serta  188,7  triliun  (2014). Namun, keterbatasan APBN memaksa pemerintah mengurangi alokasi belanja sosial (bansos) dari 82,5 triliun menjadi 55,9 triliun rupiah. Padahal bansos ini sering dipandang sebagai bentuk intervensi langsung dari pemerintah kepada masyarakat. Dalam lima tahun terakhir, alokasi bansos relatif fluktuatif dari alokasi belanja lainnya.

Ketidakmampuan APBN menciptakan pertumbuhan yang inklusif juga disebabkan masih besarnya beban  belanja subsidi, khususnya subsidi energi. Dalam R-APBN 2014, beban subsidi energi masih 284,7 triliun, untuk BBM, LPG, BBN 194,9 triliun, listrik (89,8 triliun). APBN 2013 mengalokasikan 274,7 triliun untuk BBM 193,8 triliun dan listrik 80,9 triliun. Ada penurunan. Transfer ke daerah 586,4 triliun.

APBN 2013 sebesar 528,63 triliun dan APBN-P 2013 jadi 529,4 triliun. Ini terdiri dari alokasi Dana Perimbangan (481,8 triliun), Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian (104,6 triliun). Sebelumnya, Dana Otsus hanya untuk Provinsi NAD, Papua dan Papua Barat, dalam R-APBN 2014 mulai memasukkan alokasi keistimewaan Provinsi DIY sebesar 0,5 triliun rupiah. Di masa depan, subsidi harus lebih efisien agar APBN dapat berfungsi optimal dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, adil, dan merata.

Joko Tri Haryanto
Penulis bekerja di Kementerian Keuangan



KORAN JAKARTA, 23 Agustus 2013