Definisi
Fiqih atau fikih adalah salah satu
bidang ilmu dalam syariat Islam yang membahas persoalan hukum yang mengatur
berbagai aspek kehidupan seorang muslim, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat
maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.
Contoh paling mudah adalah Fiqih
Shalat yaitu tentang tata cara ibadah shalat dengan dalil-dalil / bukti yang
terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosul. Sunnah Rosul adalah segala sesuatu
yang diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam baik perkataan,
perbuatan, ataupun persetujuan
Secara etimologi / bahasa,
fiqih artinya paham yang mendalam, pemahaman , pengertian.
Sedangkan menurut terminologi/ istilah, fiqih adalah hukum hukum syar’i yang amali (praktis) yang diambil dari dali-dalil yang terinci.
Sedangkan menurut terminologi/ istilah, fiqih adalah hukum hukum syar’i yang amali (praktis) yang diambil dari dali-dalil yang terinci.
Definisi fiqih menurut Imam Abu
Hanifah adalah : pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya. Definisi
ini meliputi semua aspek kehidupan; aqidah, syariat dan akhlak.
Sedangkan menurut Imam al Amidi
fiqih adalah : ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh
melalui dalil yang terperinci.
Menurut Hasan Ahmad AlKhatib,
Fiqih Islami ialah : sekumpulan hukum syari yang sudah dibukukan dalam berbagai
madzhab, baik dari madzhab yang empat atau dari madzhab lainnya, dan yang
dinukilkan dari fatwa fatwa sahabat, thabi in, dari fuqaha yang tujuh di Mekah,
di Madinah, di Syam, di Mesir, di iraq, di Bashrah dan sebagainya.
Fuqaha adalah kata majemuk bagi
faqih, yaitu seorang ahli fiqih. Fuqaha yang tujuh itu ialah said Musayyab, Abu
Bakar bin Abdurrahman, ‘Urwah bin Zubair, Sulaiman Yasar, A-Qasim bin Muhammad,
Charijah bin Zaid, dan Ubaidillah Abdillah.
Fiqih menurut bahasa
berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
“Maka mengapa orang-orang
itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78)
dan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya
shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah
Mengandung Dua Arti:
- Pengetahuan tentang hukum-hukum
syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka
yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari
dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As
sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
- Hukum-hukum syari’at itu sendiri.
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di
gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui
apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah
mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah
untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang
terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa
syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Perkembangan Ilmu Fiqih
Dalam perkembangannya kemudian
fiqih ini menjadi ilmu pengetahuan yang membicarakan, membahas dan memuat hukum
hukum Islam yang bersumber pada Al Qur’an, Sunnah & dalil-dalil Syar’i yang
lain.
Tentunya setelah diformulasikan
oleh para ulama dengan mempergunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih yang berbentuk
hukum amaliyah yang akan diamalkan oleh setiap mukallaf- yaitu orang yang sudah
dibebani atau diberi tanggungiawab melaksanakan ajaran syari’at Islam .
Tanda-tanda mukallaf adalah baligh, berakal, sadar, sudah masuk Islam.
Hukum Dalam Ilmu Fiqih
Hukum yang diatur dalam fiqh
Islam itu terdiri dari hukum wajib, sunat, mubah, makruh dan haram. Di samping
itu ada pula dalam bentuk yang lain seperti sah, batal, benar, salah,
berpahala, berdosa dan sebagainya
Pembagian Hukum Fiqih terdiri
atas:
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdlah (khusus), yaitu hukum yang mengatur persoalan ibadah manusia dengan Allah swt, seperti shalat, puasa, zakat dan haji
1. Hukum yang berkaitan dengan ibadah mahdlah (khusus), yaitu hukum yang mengatur persoalan ibadah manusia dengan Allah swt, seperti shalat, puasa, zakat dan haji
2. Hukum yang berkaitan dengan
masalah muamalah, yaitu persoalan hubungan sesama manusia dalam rangka memenuhi
material dan hak masing kebutuhan masing, seperti transaksi jual beli,
perserikatan dagang dan sewa menyewa.
3.Hukum yang berkaitan dengan
masalah keluarga (al ahwal asy syakhsiyah), seperti nikah, talak, rujuk,iddah,
nasab dan nafkah.
4.Hukum yang berkaitan dengan
tindak pidana (jinayah atau jarimah, dan ‘uqubah), seperti zina, pencurian,
perampokan, pemukulan dan bentuk pelanggaran terhadap anggota tubuh serta harta
lainnya.
Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
“Maka mengapa orang-orang
itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS. An Nisa: 78)
dan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya
shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah
Mengandung Dua Arti:
- Pengetahuan tentang hukum-hukum
syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka
yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari
dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As
sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
- Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam
Diantara keistimewaan fiqih
Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan
dan perkataan mukallaf– memiliki keterikatan yang kuat dengan
keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah
yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan
keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh
dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk
ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak
merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah
perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan
hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat
yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
Allah memerintahkan bersuci
dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah
sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Juga seperti shalat dan
zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana
firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang
mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri
akhirat.” (QS. An naml: 3)
Demikian pula taqwa,
pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak
memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal.
9-12)
Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia
Tidak ragu lagi bahwa
kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai
oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan
cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang
hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi
seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah
mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur
seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai
berikut:
Kalau kita memperhatikan
kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari
Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama
kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh
bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan
manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai
berikut:
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan
ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya.
Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan
masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah,
warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As
sakhsiyah.
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan
perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli,
jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih
Mu’amalah.
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan
kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan,
memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang
berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti
kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini
disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan
hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan
ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang
lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
- Hukum-hukum yang mengatur hubungan
negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan
tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As
Siyar.
- Hukum-hukum yang berkaitan dengan
akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan
adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati
bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan
memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
Sumber-Sumber Fiqh Islam
Semua hukum yang terdapat
dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah
yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari
kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi
hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka
pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang
hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib,
maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam
firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang
masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab
Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang
tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang
bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim
adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no.
1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh
Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad
no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa
dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau
membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk
menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh
Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua
rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh
itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya
belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu
Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau
berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah
shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber
kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu
permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib
mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar
bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai
penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah
shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu
Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah
menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti
pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan
seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad shollallahu’alaihiwasallam dari
suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama
tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at
maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi
suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang
dikabarkan Nabi shollallahu’alaihiwasallam, bahwa tidaklah umat ini
akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi
kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu,
bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah
tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas
kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa
kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila
tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber
rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula
sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah
disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita
mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Yaitu: Mencocokan perkara
yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang
memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara
keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam
suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun
ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan
keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
- Dasar (dalil).
- Masalah yang akan diqiyaskan.
- Hukum yang terdapat pada dalil.
- Kesamaan sebab/alasan antara dalil
dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer
dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia
memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan
lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan
haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman
khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi
haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang
menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan
semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam
kitab-kitab usul fiqh Islam.
(Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).