Polemik data tanaman
pangan khususnya beras sudah lama terjadi. Seperti dilansir republika.co.id, 26
Mei 2015. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso
meragukan validitas data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait stok dan produksi
komoditas pangan, khususnya beras. Pendapat Andreas diungkapkannya
lantaran data BPS yang dirilis selalu menunjukkan kondisi beras surplus, namun
justru berbanding terbalik dengan harga beras di pasaran yang terus melonjak”.
Menurut
Iswadi Suhari, Statistisi BPS RI, Data
perberasan di Indonesia memang masih menyimpan ruang yang perlu segera
diperbaiki dan ditata ulang. Seperti diketahui data yang dirilis BPS berupa
produksi padi dalam kualitas Gabah Kering Giling (GKG) diramal dengan
menggunakan dua variabel utama yaitu luas panen dan produktivitas atau yield
per hektar. Data produktivitas walau mungkin belum begitu sempurna tetapi
setidaknya telah dikumpulkan dengan menggunakan kaidah ilmu statistik yang
benar. Hal ini telah diakui oleh berbagai ahli baik dari dalam negeri maupun
dari lembaga internasional. Namun, data luas panen masih merupakan akar karut
marutnya data produksi pangan di Indonesia.
Data
luas panen dikumpulkan oleh staf dinas pertanian kabupaten/kota atau dinas lain
yang menangani tanaman pangan – Kepala Cabang Dinas (KCD) -- tanpa penggunaan
kaidah sampling yang sesuai dengan teori disiplin ilmu statistik. KCD notabene
merupakan kepanjangan tangan dari dinas pertanian kabupaten/kota yang diangkat
oleh bupati atau walikota yang berkepentingan dalam penilaian akuntabilitas
kinerja mereka. Setidaknya, demikianlah yang banyak diketahui oleh masyarakat.
Jadilah ketidakindependenan data menjadi salah satu isu lain terkait data luas
panen.
Kelemahan
tersebut sebenarnya bukan tidak disadari oleh BPS -- lembaga yang ditugasi
merilis data produksi padi setahun tiga kali sebagai konsekwensi dari Instruksi
Menteri Negara Ekonomi, Keuangan dan Industri NO.IN/05/MENKUIN/I/1973 TGL 23
JANUARI 1973 kepada Menteri Pertanian, Menteri Keuangan, dan Kepala BPS yang
mendaulat BPS sebagai koordinator perhitungan produksi pertanian nasional
walaupun sebenarnya menurut Undang-Undang no.16 tahun 1997 tentang statistik,
data tersebut termasuk statistik sektoral yang merupakan tanggung jawab
kementerian atau lembaga teknis yang menangani pertanian.
Data produktivitas
separuhnya dikumpulkan oleh staf dinas pertanian kabupaten/kota. Sebagai tindakan
pengawasan, BPS telah mengeluarkan surat edaran untuk melakukan pengumpulan
data produktivitas melalui Survei Ubinan secara bersama antara staf BPS yang
dikenal dengan Koordinator Statistik Kecamatan (KSK) dan KCD. Usaha ini
dilakukan untuk menghapus kecurigaan dan keraguan data yang dikumpulkan oleh
KCD atau sebaliknya. Usaha ini pun tak semudah membalikan telapak tangan.
Sulitnya menyamakan waktu kerja KSK, KCD, dan waktu panen petani bukanlah hal
yang mudah karena tugas mereka tidak hanya mengumpulkan data pertanian.
Usaha
evaluasi data produksi padi/beras juga dilakukan dengan meng-update ukuran-ukuran
konversi yang digunakan dalam perhitungan produksi padi dan beras. Untuk sampai
pada angka produksi padi dalam kualitas GKG, setidaknya terdapat dua angka
konversi yang sudah berumur tua bahkan sangat tua yaitu konversi galengan dan
konversi GKP ke GKG. Konversi galengan digunakan untuk memperoleh luasan bersih
dari data luasan -- seperti luas panen dan luas tanam -- untuk proses poduksi
yang dilakukan di lahan sawah. Konversi galengan yang digunakan saat ini
diestimasi pada level kabupaten dan merupakan data yang diperoleh dari Survei
Pertanian yang pelaksanaannya diintegrasikan dengan Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS) tahun 1969/1970. Besaran konversi ini disinyalir telah
mengalami banyak perubahan. Untuk itu, Survei Luas Panen dan Luas Lahan Tanaman
Pangan 2015 juga diharapkan dapat memberikan update untuk indikator penting
ini.
Angka
konversi GKP ke GKG yang digunakan saat ini sebesar 86,02 persen merupakan
angka konversi hasil Survei Susut Panen dan Pasca Panen Padi tahun 2005, 2006,
dan 2007. Angka tersebut dihitung dari penggabungan data hasil survei yang
dilakukan tiga tahun berturut-turut dengan pelaku survei yang berbeda yaitu BPS
dan Kementerian Pertanian. Tidak mutakhirnya angka konversi ini pun telah
disadari oleh pemerintah. Karena itu, pemerintah melalui Menteri Koordinator
Perekonomian menginstruksikan BPS untuk melakukanupdate angka konversi tersebut
melalui Survei Konversi Gabah ke Beras tahun 2012. Survei ini menghasilkan
angka konversi GKP ke GKG baru sebesar 83,12 persen.
Perhitungan
produksi beras secara kasar sering dilakukan dengan mengalikan produksi GKG
dengan angka 0,57. Sebenarnya angka tersebut digunakan untuk memeroleh gambaran
produksi beras secara cepat. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh angka tersebut
merupakan kumpulan angka konversi yang lagi-lagi sudah cukup tua. Angka
konversi tersebut terbentuk dari angka penggunaan GKG untuk non pangan (pakan
ternak/unggas, bibit/benih, bahan baku industri non makanan, dan susut) sebesar
7,30 persen, angka konversi GKG ke beras 62,74 persen, penggunaan beras untuk
non pangan (pakan ternak, industri non makanan, dan susut) sebesar 3,33 persen.
Angka-angka tersebut diambil dari neraca bahan makanan keluaran Badan Ketahanan
Pangan yang juga perlu dievaluasi lebih dalam.
Perlu
disadari, Indonesia adalah negara besar dengan wilayah yang luas dan heterogen.
Selayaknya pengumpulan data melalui metode sampling dapat mewakili semua variasi
yang ada termasuk kondisi pada daerah-daerah yang sulit dijangkau transportasi.
Untuk memperoleh satu angka saja – produktivitas padi nasional misalnya --
dibutuhkan dana yang sangat besar karena harus melibatkan ribuan petugas.
Walaupun tak boleh jadi alasan, kendala ini nyata adanya. Banyak metode
pengumpulan data yang ditawarkan, akan tetapi pada akhirnya cost effective
tetap menjadi pertimbangan.
Sepakat
dengan perlunya pembenahan data. Angka-angka konversi yang sudah “usang” harus
segera dimutakhirkan. Pembenahan data harus dilakukan pada data produksi,
konsumsi, penggunaan, dan data lahan. Hingga saat ini, gonjang-ganjing data
lahan masih belum dapat diselesaikan. Pemekaran wilayah administratif yang
sangat cepat membuat penentuan batas dan luas wilayah administratif menjadi
pekerjaan yang sangat besar. Semua itu berpengaruh pada kualitas statistik
beras. Semoga segera ditemukan titik terang.
Padi
merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat
pangan dalam hal ini beras adalah kebutuhan dasar manusia. Oleh karena itu
untuk menjamin kestabilan ketahanan pangan Pemerintah mengeluarkan PP No.68
Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan sebagai peraturan pelaksanaan UU No.7 tahun
1996 tetangan pangan.
Keberhasilan pelaksanaan pembangunan ketahanan pangan sangat ditentukan
perencanaan yang baik. Untuk menyusun perencanaan yang baik diperlukan data dan
informasi yang akurat dan tepat waktu sebagai dasar penetapan target dan tujuan
yang ingin dicapai. Kesalahan data dan informasi baik yang menyangkut
keakuratan dan ketepatan waktu yang digunakan sebagai input mengakibatkan
perencanaan yang dibuat tidak akan berguna atau bahkan merugikan apabila
perencanaan tersebut diimplementasikan.
Sebagai
jawaban atas kritik terhadap data pangan khususnya beras, saat ini Badan Pusat
Statistik (BPS) bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) sedang melakukan pengamatan langsung (masa fase tanaman) dengan
memanfaatkan teknologi. Unit statistik (statistical unit) yang menjadi sasaran
kegiatan sampai ke level Kecamatan, sedangkan obyek komoditas pertanian tanaman
pangannya adalah padi. Kegiatan ini dinamakan Survei Kerangka Sampel Area
(KSA).
KSA
didefinisikan sebagai teknik pendekatan penyampelan yang menggunakan area lahan
sebagai unit enumerasi. Sistem ini berbasis teknologi sistem informasi geografi
(SIG), pengideraan jauh, teknologi informasi, dan statistika yang saat ini
sedang diimplementasikan di Indonesia untuk perolehan data dan informasi
pertanian tanaman pangan.
Hasil
KSA memang belum dirilis dan dipublikasikan ke masyarakat, namun berdasarkan
pengalaman petugas lapangan dalam tahap awal saja sudah banyak ditemukan fakta
bahwa lahan yang berdasarkan data awal dinyatakan sebagai lahan pertanian
ternyata sekarang sudah beralih fungsi menjadi lahan bukan pertanian.
Pendekatan
KSA diharapkan mampu menjawab penyediaan data dan informasi yang akurat dan
tepat waktu untuk mendukung perencanaan Program Ketahanan Pangan Nasional.
Semoga.
Warji
Permana
*************
Dari
beberapa literatur